SELAMAT DATANG DI BLOG GANTENG

Kamis, 29 Desember 2011

Teori Belajar


Teori Belajar Edward Lee Thorndike
Thorndike mengemukakan teorinya yang disebut sebagai Koneksionisme (connectionism) karena belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respon. Teori ini sering juga disebut Trial and error dalam rangka menilai respon yang terdapat bagi stimulus tertentu. Thorndike mendasarkan teorinya atas hasil-hasil penelitiannya terhadap tingkah laku beberapa binatang antara lain kucing, dan tingkah laku anak-anak dan orang dewasa. Menurut teori ini, belajar pada hewan dan manusia pada dasarnya berlangsung menurut prinsip yang sama. Dasar terjadinya belajar adalah pembentukan antara stimulus dan respons, yaitu sesuatu (B) menjadi tanda bagi hal yang lain, yang biasanya menimbulkan reaksi tertentu (A). Lama kelamaan B akan menimbulkan reaksi yang mula-mula hanya diberikan kepada A, meskipun A sudah tidak ada. Misalnya seorang anak belajar untuk tidak menyentuh pisau dapur, bukan karena anak itu terluka oleh pisau itu, melainkan setiap kali anak memegang pisau itu tangannya kena pukulan atau paling sedikit ibunya berkata keras “jangan”. Pukulan pada tangan atau perintah dengan suara keras, dengan sendirinya membuat anak terkejut dan takut (A). Lama kelamaan terbentuk hubungan antara memegang pisau (B) dan tindakan ibu anak itu, sehingga memegang pisau menjadi semacam tanda bagi anak, segera akan menyusul hukuman. Akhirnya anak tidak akan berani memegang pisau, meskipun ibunya tidak berada di dekat anak tersebut; anak telah merasa takut menyentuh pisau dapur. Kemungkinan besar, setelah anak itu menjadi besar masih merasa takut untuk memegang pisau yang tajam. Dalam belajar semacam itu, sudah harus ada kaitan antara suatu peransang (pukulan, suara keras) dan reaksi spontan (perasaan terkejut dan takut), sebagai syarat dasar pada diri anak sendiri. Kaitan dasar itu oleh Gagne’ dipandang sebagai “kondisi internal”. Disamping itu, hubungan antara perangsang kedua (pisau yang menarik untuk dipegang) dan peransang pertama (pukulan, suara keras), harus terdapat pada saat yang sama dan diulang kembali beberapa kali. Kedua hal itu oleh Gagne’ dipandang sebagai “kondisi eksternal”; karena terdapat diluar anak itu sendiri. Dalam contoh di atas, kedua kondisi eksternal itu adalah kebersamaan dalam waktu (kontiguitas waktu) dan pengulangan kembali (repetisi).      
Landasan teori Thorndike mula-mula diletakkan pada eksperimen-eksperimen yang dilakukannya terhadap binatang. Penelitiannya dirancang untuk menentukan apakah binatang itu “memecahkan” masalah dengan berfikir ataukah melalui suatu proses yang lebih mendasar sifatnya. Menurut Thorndike, diperlukan penelitian karena tidak cukup tersedia data yang obyektif. “Beratus kali anjing-anjing itu salah jalan dan tidak ada seorangpun tahu atau mengirimkan berita kejadiannya ke majalah ilmiah. Tetapi andaikan ada seekor saja yang tahu jalan dari Brooklyn ke Yonkers maka kenyataan itu segera menjadi berita menarik yang beredar di luar” (Thorndike, 1911, hlm. 24).
Thorndike bereksperimen dengan menggunakan anak ayam, anjing, ikan, kucing, dan kera. Prosedur eksperimennya yang umum ialah membuat agar setiap binatang lepas dari kurungannya sampai ketempat makanan. Digunakan satu kotak teka-teki berpalang sandungan atau mekanisme lain yang membuat binatang percobaan lepas.
Apabila terkurung, binatang itu sering melakukan bermacam-macam kelakuan, seperti menggaruk-garuk, menggigit, mencakar, dan menggosok-gosokkan badannya ke sisi-sisi kotak. Cepat atau lambat binatang itu akan tersandung palang dan lepaslah ia ke tempat makanan. Kalau pengurungan itu berkali-kali maka tingkah-laku yang tidak ada hubungannya dengan lepas dari kurungan berkurang dan, tentu saja waktu yang digunakan untuk lepas menjadi lebih pendek. Perubahan yang paling dramatis terjadi pada tera-kera. Dalam satu eksperimen, sebuah kotak bersisi pisang diletakkan di dalam kurungan. Diperlukan waktu 36 menit bagi kera itu untuk mencabut paku penjepit kawat. Pada percobaannya yang kedua kali, diperlukan waktu hanya 2 menit 30 detik saja (Thorndike, 1911).
Dari penelitiannya Thorndike menyimpulkan bahwa respons lepas dari kurungan itu lambat laun diasosiasikan dengan situasi stimulus dalam belajar coba-coba, trial and error.
Terjadinya asosiasi tersebut menurut Trondike berdasarkan hukum-hukum sebagai berikut:

  1. Hukum Kesiapan (Law of readiness)
Hukum ini menjelaskan kesiapan individu untuk melakukan sesuatu. Hukum kesiapan melukiskan syarat-syarat yang menentukan keadaan yang disebut “memuaskan” atau “menjengkelkan” itu (Thorndike, 1913a). Secara singkat pelaksanaan tindakan sebagai respons terhadap suatu impuls yang kuat menimbulkan kepuasan, sedangkan menghalang-halangi pelaksanaan tindakan atau memaksakannya terjadi dalam syarat-syarat lain yang akan menjengkelkan. Ciri-ciri berlakunya hukum kesiapan adalah sebagai berikut:
1). Misalkan seseorang memiliki kecenderungan bertindak. Jika orang tersebut bertindak, maka akan menimbulkan kepuasan, dan ia tidak akan dilakukan tindakan lain.
2). Misalkan seseorang memiliki kecenderungan bertindak. Jika orang tersebut tidak bertindak, maka akan muncul rasa ketidakpuasan, dan ia akan melakukan tindakan-tindakan lain untuk menghapus rasa tidak puasnya.
3). Misalkan seseorang tidak mempunyai kecenderungan bertindak. Tetapi orang tersebut bertindak, maka akan muncul rasa ketidakpuasan, dan ia akan melakukan tindakan-tindakan lain untuk menghapus rasa tidak puasnya.
Menurut hukum ini, keberhasilan individu dalam melaksanakan sesuatu sangat tergantung pada kesiapannya. Belajar akan berhasil jika siswa telah siap untuk belajar.
  1. Hukum Latihan (Law of exercises)
Hukum latihan menjelaskan keadaan seperti dikatakan pepatah “Latihan menjadikan sempurna”. Dengan kata lain pengalaman yang diulang-ulang memperbesar peluang timbulnya respons benar. Akan tetapi pengulangan-pengulangan yang tidak disertai keadaan memuaskan tidak meningkatkan belajar (Thorndike, 1913b, hlm. 20).
Hukum ini menunjukkan bahwa prinsip utama belajar adalah pengulangan. Bila S diberikan akan terjadi R . Lebih sering asosiasi S dan R digunakan akan membuat hubungan yang terjadi semakin kuat. Sebaliknya makin jarang asosiasi S dan R digunakan, akan membuat buhungan tersebut makin lemah. Thorndike juga mengemukakan bahwa latihan yang berupa pengulangan tanpa ganjaran tidak efektif. Asosiasi antara S dan R akan menjadi kuat jika diberikan ganjaran.
  1. Hukum Pengaruh (Low of effect)
Hukum pengaruh menyebutkan bahwa keadaan memuaskan menyusul respons memperkuat pautan antara stimulus dan tingkah-laku, sedangkan keadaan menjengkelkan memperlemah pautan itu.
Menurut hukum ini, dalam suatu lingkungan, jika suatu tindakan (perilaku) menghasilkan perubahan yang memuaskan, maka terdapat kemungkinan tindakan tersebut akan diulangi lagi dalam situasi serupa dan akan semakin meningkat intensitasnya. Tetapi jika tindakan (perilaku) tersebut menghasilkan perubahan yang tidak memuaskan, maka tindakan tersebut kemungkinan tidak diulangi lagi.
Ganjaran dan hukuman berkaitan dengan hukum pengaruh ini. Ganjaran merupakan sesuatu yang diperoleh siswa atas keberhasilan atau usaha yang dilakukaknnya. Misalnya, nilai baik (tinggi) yang diperoleh pada hasil tesnya. Sedangkan hukuman berkaitan dengan sesuatu yang diperoleh siswa akibat dari kegagalan atau pelanggaran yang dilakukan. Misalnya, nilai jelek atau teguran kepada siswa atas hasil tesnya. Menurut Thorndike, hukuman tidak selalu melemahkan hubungan S – R, dan juga tidak mempunyai akibat yang berlawanan dengan ganjaran. Menurut Hudoyo (1988), jika S dan R terjadi serontak, maka hubungan ini disebut sebagai “kontingusi”. Ganjaran menjadi penguat, jika rasa puas mengiringi respon siswa. Disamping itu juga ada kecenderungan meningkatkan R dan hal ini dapat memudahkan dan memperlancar cara belajar serta mengubah tingkah laku. Misalnya ucapan seperti: “bagus”, “benar”, dan sebagainya merupakan penguatan. Respons- respons yang diperkuar akan berorientasi dengan stimulus secara kuat, sedangkan respons-respons yang tidak diperkuat akan berkuarang asosiasinya dengan stimulus berikutnya.
            Thorndike meneliti hubungan antara stimulus fisik dan tindakan fisik, dan penafsirannya atas belajar didasarkan pada penyelidikan tingkal laku ini. Akan tetapi teorinya juga mencakup peristiwa-peristiwa mental. Dengan demikian teori tersebut letaknya ada di tengah antara apa yang menjadi perhatian fungsionalisme dan behaviorisme “murni”.
            Thorndike menggambarkan kehidupan mental manusia sebagai sesuatu yang tersusun atas dunia mental dan gerakan yang antara keduanya ada pautan (Thorndike, 1905, hlm. 12). Menurut pandangannya, pautan gagasan-gagasan merupakan asal dari bagian terbesar “pengetahuan” dalam arti yang khusus (Thorndike, 1913b, hlm. 19). Termasuk dalam hal ini soal-soal hitung bilangan dan jawabannya, seperti 9 x 5 =  45; peristiwa dan kapan terjadinya, seperti Colombus dan 1492 ; serta orang dan cirinya, misalnya Darto dan mata coklat.
            Bagi para pendidik, hal khusus yang menarik ialah deskripsi Thorndike mengenai lima hukumnya yang merupakan tambahan berkenaan dengan belajar di sekolah. Hukum-hukum tersebut merupakan usaha pertama untuk menerangkan bagaimana kompleksnya belajar yang terjadi pada manusia. Dipercayai bahwa hukum-hukum ini ada kaitannya dengan hukum pengaruh dan hokum latihan yang menjelaskan belajar pada manusia. Hukum-hukum tambahan ini dan denerapannya dirangkum dalam tabel berikut:
No
Hukum
Deskripsi
Contoh
1.
Respons ganda atau reaksi beragam
Berbagai respons mula-mula sering terjadi pada stimulus-stimulus
Lafal bahasa asing, keterampilan main tennis, keterampilan dalam karangan
2.
Sikap, disposisi, atau peri keadaan
Keadaan siswa yang mempengaruhi belajar; termasuk sikap yang mantap dan faktor-faktor situasi yang sementara sifatnya
Seseorang berlomba lempar bola paling jauh atau merobohkan pemain dalam permainan bisbol. Mengajarkann soal hitung menambah atau mengurangi dari 7 dan 6
3.
Aktifitas persial atau sepotong-sepotong dalam suatu situasi
Kecendrungan untuk merespons terhadap unsure atau hal-hal tertentu dari suatu situasi stimulus (juga disebut belajar analitik)
Respons terhadap kualitas bentuk, warna, jumlah, kegunaan, maksud dan sebagainya. Respons terhadap hubungan-hubungan ruang, waktu, sebaba dann sebagainya
4.
Asimilasi respons dengan analogi
Kecenderungan situasi B untuk sebagaian menimbulkan respons sama seperti situasi A
Orang asing melalfalkan kata-kata bahasa Indonesia
5.
Pergantian asosiatif
Secara berurutan mengganti stimulus sampai responsnya terikat oleh stimulus yang baru
Abcd diganti menjadi abce menjadi abcfg dan seterusnya
Hasil penelitian Thorndike yang penting bagi pendidikan adalah mengenai pengaruh jenis kegiatan belajar tertentu pada belajar berikutnya. Pertama, serangkaian studi yang dilakukan oleh Thorndike dan Woodworth (1901) menemukan bahwa berlatih dalam tugas tertentu memudahkan belajar diwaktu kemudian hanya untuk tugas yang serupa tidak untuk tugas yang tidak serupa. Hubungan ini dikenal dengan alih latihan, transfer of  training. Kedua, Thorndike (1924) menyelidiki konsep “disiplin mental” yang popular yang mula-mula diuraikan oleh Plato. Menurut penganjur pfaham disiplin mental, mempelajari kurikulum tertentu, terutama matematika dan bahasa-bahasa klasik, dapat meningkatkan fungsi intelek. Artinya, mata pelajaran-mata epelajaran sekolah semacam itu dipercayai dapat melatih fikiran. Thorndike (1924) menguji konsep ini dengan cara membandingkan hasil belajar siswa-siswa sekolah menengah setelah mengikuti pelajaran dalam kurikulum klasik dan kurikulum vokasional dan menemukan bahwa tidak ada perbedaan yang berarti. Dalam tahun-tahun berikutnya, penelitian Thorndike ini disebut sebagai pembawa pengaruh yang penting dalam mengalihkan pandangan para perancang kurikulum dari konsep disiplin mental dan mengarahkan peleksanaan penyusunan kurikulum ke tujuan kegunaan masyarakat (Cushman dan Fox, 1983; Gates, 1938). 


TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK

Posted: July 4, 2008 in DIKNAS, Pendidikan
Tags: metode behavioristik, Metode Belajar






i

12 Votes
Quantcast
Teori belajar behavioristik merupakan proses perubahan tingkah laku sebagai akibat adanya interaksi antara stimulus dengan respons yang menyebabkan siswa mempunyai pengalaman baru. Aplikasinya dalam pembelajaran adalah bahwa guru memiliki kemampuan dalam mengelola hubungan stimulus respons dalam situasi pembelajaran sehingga hasil belajar siswa dapat optimal.
Adapun tokoh-tokoh dalam teori belajar behavioristik:
  1. Edward Lee Thorndike (1874-1949)
Seorang pendidik & psikolog berkebangsaan Amerika, mengemukakan bahwa belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi –asosiasi antara peristiwa- peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R). Stimulus adalah suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk beraksi \ berbuat, sedang respon adalah sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena adanya perangsang. Teori belajar yang dikemukakan Thorndike sering disebut dengan teori koneksionisme\ teori asosiasi. Thorndike mengemukakan bahwa terjadinya asosiasi antara stimulus & respon mengikuti hukum- hukum :
  • Hukum kesiapan (Law of readiness), semakin siap suatu organisme memperoleh suatu perubahan tingkah laku maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat.
  • Hukum latihan (Law of exercise), semakin sering suatu tingkah laku diulang\ dilatih (digunakan) maka asosiasi tersebut akan semakin kuat.
  • Hukum akibat (Law of effect), hubungan stimulus respon cenderung diperkut bila akibatnya menyenangkan & cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan.
Tambahan hukum Thorndike :
  1. Hukum Reaksi Bereaksi (Multiple Response)
  2. Hukum Sikap (Set \Attitude)
  3. Hukum Aktivitas Berat Sebelah(Prepotency of Element)
  4. Hukum Respon by Analogy
  5. Hukum Perpindahan Asosiasi
Beberapa revisi hukum belajar :
  • Hukum latihan ditinggalkan karena ditemukan pengulangan tidak cukup untuk memperkuat hubungan stimulus respon sebaliknya tanpa pengulangan hubungan stimulus respon belum tentu diperlemah.
  • Hukum akibat direvisi. Dikatakan oleh Thorndike bahwa yang berakibat positif untuk perubahan tingkah laku Teori belajar behavioristik merupakan proses perubahan tingkah laku sebagai akibat adanya interaksi antara stimulus dengan respons yang menyebabkan siswa mempunyai pengalaman baru. Aplikasinya dalam pembelajaran adalah bahwa guru memiliki kemampuan dalam mengelola hubungan stimulus respons dalam situasi pembelajaran sehingga hasil belajar siswa dapat optimal.
    Adapun tokoh-tokoh dalam teori belajar behavioristik:
    1.      Edward Lee Thorndike (1874-1949)
    Seorang pendidik & psikolog berkebangsaan Amerika, mengemukakan bahwa belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi –asosiasi antara peristiwa- peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R). Stimulus adalah suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk beraksi \ berbuat, sedang respon adalah sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena adanya perangsang. Teori belajar yang dikemukakan Thorndike sering disebut dengan teori koneksionisme\ teori asosiasi. Thorndike mengemukakan bahwa terjadinya asosiasi antara stimulus & respon mengikuti hukum- hukum :
    • Hukum kesiapan (Law of readiness), semakin siap suatu organisme memperoleh suatu perubahan tingkah laku maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat.
    • Hukum latihan (Law of exercise), semakin sering suatu tingkah laku diulang\ dilatih (digunakan) maka asosiasi tersebut akan semakin kuat.
    • Hukum akibat (Law of effect), hubungan stimulus respon cenderung diperkut bila akibatnya menyenangkan & cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan.
    Tambahan hukum Thorndike :
    1.      Hukum Reaksi Bereaksi (Multiple Response)
    2.      Hukum Sikap (Set \Attitude)
    3.      Hukum Aktivitas Berat Sebelah(Prepotency of Element)
    4.      Hukum Respon by Analogy
    5.      Hukum Perpindahan Asosiasi
    Beberapa revisi hukum belajar :
    • Hukum latihan ditinggalkan karena ditemukan pengulangan tidak cukup untuk memperkuat hubungan stimulus respon sebaliknya tanpa pengulangan hubungan stimulus respon belum tentu diperlemah.
    • Hukum akibat direvisi. Dikatakan oleh Thorndike bahwa yang berakibat positif untuk perubahan tingkah laku adalah hadiah sedangkan hukuman tidak berakibat apa-apa.
    • Syarat utama terjadinya hubungan stimulus respon bukan kedekatan , tetapi adanya saling sesuai antara stimulus & respon.
    • Akibat suatu perbuatan dapat menular (Spread of Effect) baik pada bidang lain maupun pada `individu lain.
    2.      Burrhus Frederic Skinner (1904- 1990)
    Tokoh behavioris dengan pendekatan model instruksi langsung (directed instruction ) & menyakini bahwa perilaku dikontrol melalui proses operant conditioning yang berkebangsaan Amerika. Gaya mengajar guru dilakukan secara searah & dikontrol melalui pengulangan (drill) & latihan (exercise). Manajemen kelas menurut Skinner :berupa usaha untuk memodifikasi perilaku (behavior modification ) antara lain dengan proses penguatan (reinforcement) yaitu memberi penghargaan pada perilaku yang diinginkan & tidak memberi ingatan apa pun pada perilaku yang tidak tepat. Skinner menyatakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan (reinforcement) maksudnya pengetahuan yang terbentuk melalui ingatan stimulus- respon akan semakin kuat apabila diberi penguatan Skinner membagi penguatan menjadi 2 yaitu penguatan positif & penguatan negative. Bntuk –bentuk penguatan positif :hadiah, permen, kado, makanan,perilaku (senyum, menganggukkan kepala untuk menyetujui, bertepuk tangan, mengacungkan jempol)\ penghargaan. Bentuk –bentuk penguatan negative menunda\tidak memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan /menunjukkan perilaku tidak senang Beberapa prinsip belajar Skinner:
    1. Hasil belajar harus segera diberitahukan pada siswa ,jika salah dibetulkan jika benar diberi penguat
    2. Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar
    3. Materi pelajaran digunakan system modul
    4. Dalam proses pembelajaran lebih dipentingkan aktivitas sendiri
    5. Dalam proses pembelajaran tidak digunakan hukuman. Untuk ini lingkungan perlu diubah untuk menghindari adanya hukuman
    6. Tingkah laku yang diinginkan pendidik, diberi hadiah & hadiah diberikan dengan digunakannya jadwal variable rasio reinforcer
    7. Dalam pembelajaran digunakan shaping
    Beberapa kekeliruan dalam penerapan teori Skinner :penggunaan hukuman sebagai salah satu cara untuk mendisiplinkan siswa & sebagai hukumannya anak merasakan sendiri konsekuensinya dari perbuatannya. Kesalahan dalam penguatan positif terjadi dalam situasi pendidikan seperti penggunaan rangking juara dikelas yangmengharuskan anak menguasai semua mata pelajaran.
    3.      Ivan Petrovich Pavlov (1849- 1936)
    Ivan Petrovich Pavlov lahir 14 September 1849 di Ryazan Rusia. Ia mengemukakan bahwa dengan menerapkan strategi ternyta individu dapat dikendalikan melalui cara stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.
    4.      Robert Gagne (1916- 2002)
    Gagne adalah seorang psikolog pendidikan berkebangsaan Amerika yang terkenal dengan penemuannya berupa Conditions of Learning. Konstribusi terbesar dari teori Gagne ada 9 kondisi instruksional:
    • Gaining Attention :mendapatkan perhatian
    • Intorm Learner of Objectives :menginformasikan siswa mengenai tujuan yang akan dicapai
    • Stimulate recall of prerequisite learning :stimulasi kemampuan dasar siswa untuk persiapan belajar
    • Present new material :penyajian materi baru
    • Provide guidance :menyediakan pembimbing
    • Elicit performance :memunculkan tindakan
    • Provided feedback about correctness :siap memberikan umpan balik langsung terhadap hasil yang baik
    • Assess performance :menilai hasil belajar yang ditunjukkan
    • Enhance retention & recall:meningkatkan proses penyimpangan memori & mengingat Gagne disebut sebagai modern neobehaviourist mendorong guru untuk merencanakan intruksional pembelajaran agar suasana & gaya belajar dapat dimodifikasi.
    5.      Albert Bandura (1925- masih hidup sampai sekarang)
    Lahir 4 Desember 1925 di Mundare Alberta berkebangsaan Kanada. Ia seorang psikolog terkenal dengan teori belajar social /kognitif social serta efikasi diri. Eksperimen yang terkenal adalah eksperimen Bobo Doll menunjukkan anak meniru secara persis perilaku agresif orang dewasa.
    Faktor-faktor yang berproses dalam belajar observasi :
    1. Perhatian (atensi) mencakup peristiwa peniruan & karakteristik pengamat
    2. Penyimpangan /proses mengingat mencakup kode pengkodean simbolik, pengorganisasian pikiran pengulangan symbol, motorik
    3. Reproduksi motorik mencakup kemampuan fisik, meniru, keakuratan umpan balik
    4. Motivasi mencakup dorongan dari luar & penghargaan terhadap diri sendiri
    Faktor model /teladan mempunyai prinsip- prinsip
    1. Tingkat tertinggi belajar dari pengamat diperoleh dengan cara mengorganisasikan sejak awal & Mengulangi perilaku secara simbolik kemudian melakukannya
    2. Individu lebih menyukai perilaku yang ditiru jika sesuai dengan nilai yang dimilikinya
    3. Individu akan menyukai perilaku yang ditiru jika model/ pantauan tersebut disukai/ dihargai & perilakunya mempunyai nilai yang bermanfaat
    Hal- hal yang harus diperhatikan dalam menerapkan teori behavioristik adalah cirri- ciri kuat yang mendasarinya:
    1. mementingkan pengaruh lingkungan
    2. mementingkan bagian- bagian (elemantalistik)
    3. mementingkan peranan reaksi
    4. mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar melalui prosedur stimulus respon
    5. mementingkan peranan kemampuan yang sudah terbentuk sebelumnya
    6. mementingkan pembentukan kebiasaan melalui latihan & pengulangan hasil belajar dicapai adalah munculnya perilaku yang diinginkan.
    Konsekuensinya teori behavioristik adalah para guru yang menggunakan paradigma behavioristik akan menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap shingga tujuan pembelajaran yang harus dikuasai
    siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian- bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu keterampilan tertentu. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori behavioristik ini adalah terbentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Kritik terhadap behavioristik adalah pembelajaran siswa yang berpusat pada guru, bersifat mekanistik & hanya berorientasi pada hasil yang dapat diukur &diamati. Penerapan teori yang salah dalam situasi pembelajaran mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang sangat tidak menyenangkan bagi siswa yaitu guru sebagai sentral bersikap otoriter, komunikasi berlangsung 1 arah, guru melatih & menentukan apa yang harus dipelajari murid. Penggunaan hukuman yang sangat dihindari para tokoh behavioristik dianggap metode paling efektif untuk menertibkan siswa.
    Teori Belajar Dines
    Perkembangan psikologi kognitif sebagai suatu cabang psikologi yang memfokuskan studi-studinya pada aktivitas mental atau pikiran manusia telah berkembang sangat pesat seiring dengan menurunnya popularitas psikologi behaviorisme, berkembangnya studi tentang perkembangan kognitif dan bahasa serta kemajuan ilmu komunikasi. Studi tentang perkembangan kognitif manusia telah melahirkan teori psikologi pembelajaran dan membentuk aliran baru yang disebut kognitivisme.
    Penyajian pembelajaran matematika saat ini tidak terlepas dari teori psikologi pembelajaran kognitivisme. Galloway (Ratumanan, 2004) mengemukakan bahwa belajar suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi dan faktor-faktor lain. Proses belajar meliputi pengaturan stimulus yang diterima dengan struktur kognitif yang terbentuk di dalam pikiran seseorang berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya.
    B.     Teori Perkembangan Kognitif Dienes
    Teori perkembangan kognitif melihat bahwa proses belajar seseorang dilihat dari tingkat kemampuan kognitifnya, dalam proses belajar mengajar tingkat kognitif menjadi suatu hal yang sangat penting, karena kemampuan tingkat kognitif seseorang tergantung dari usia seseorang, sehingga dalam pembelajaran pada orang dewasa berbeda dengan pembelajaran anak-anak.
    Zoltan P. Dienes adalah seorang matematikawan yang memusatkan perhatiannya pada cara-cara pengajaran terhadap anak-anak. Dasar teorinya bertumpu pada teori pieget, dan pengembangannya diorientasikan pada anak-anak, sedemikian rupa sehingga sistem yang dikembangkannya itu menarik bagi anak yang mempelajari matematika.
    Dienes berpendapat bahwa pada dasarnya matematika dapat dianggap sebagai studi tentang struktur, memisah-misahkan hubungan-hubungan diantara struktur-struktur dan mengkatagorikan hubungan-hubungan di antara struktur-struktur. Dienes mengemukakan bahwa tiap-tiap konsep atau prinsip dalam matematika yang disajikan dalam bentuk yang konkret akan dapat dipahami dengan baik. Ini mengandung arti bahwa benda-benda atau obyek-obyek dalam bentuk permainan akan sangat berperan bila dimanipulasi dengan baik dalam pengajaran matematika.
    Makin banyak bentuk-bentuk yang berlainan yang diberikan dalam konsep-konsep tertentu, akan makin jelas konsep yang dipahami anak, karena anak-anak akan memperoleh hal-hal yang bersifat logis dan matematis dalam konsep yang dipelajarinya itu.
    Dalam mencari kesamaan sifat anak-anak mulai diarahkan dalam kegiatan menemukan sifat-sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti. Untuk melatih anak-anak dalam mencari kesamaan sifat-sifat ini, guru perlu mengarahkan mereka dengan mentranslasikan kesamaan struktur dari bentuk permainan yang satu ke bentuk permainan lainnya. Translasi ini tentu tidak boleh mengubah sifat-sifat abstrak yang ada dalam permainan semula..
    Menurut Dienes konsep-konsep matematika akan berhasil jika dipelajari dalam tahap-tahap tertentu. Dienes membagi tahap-tahap belajar menjadi 6 tahap, yaitu:
    1.      Permainan Bebas (Free Play)
    Dalam setiap tahap belajar, tahap yang paling awal dari pengembangan konsep bermula dari permainan bebas. Permainan bebas merupakan tahap belajar konsep yang aktifitasnya tidak berstruktur dan tidak diarahkan. Anak didik diberi kebebasan untuk mengatur benda. Selama permainan pengetahuan anak muncul. Dalam tahap ini anak mulai membentuk struktur mental dan struktur sikap dalam mempersiapkan diri untuk memahami konsep yang sedang dipelajari. Misalnya dengan diberi permainan block logic, anak didik mulai mempelajari konsep-konsep abstrak tentang warna, tebal tipisnya benda yang merupakan ciri/sifat dari benda yang dimanipulasi.
    2.      Permainan yang Menggunakan Aturan (Games)
    Dalam permainan yang disertai aturan siswa sudah mulai meneliti pola-pola dan keteraturan yang terdapat dalam konsep tertentu. Keteraturan ini mungkin terdapat dalam konsep tertentu tapi tidak terdapat dalam konsep yang lainnya. Anak yang telah memahami aturan-aturan tadi. Jelaslah, dengan melalui permainan siswa diajak untuk mulai mengenal dan memikirkan bagaimana struktur matematika itu. Makin banyak bentuk-bentuk berlainan yang diberikan dalam konsep tertentu, akan semakin jelas konsep yang dipahami siswa, karena akan memperoleh hal-hal yang bersifat logis dan matematis dalam konsep yang dipelajari itu. Menurut Dienes, untuk membuat konsep abstrak, anak didik memerlukan suatu kegiatan untuk mengumpulkan bermacam-macam pengalaman, dan kegiatan untuk yang tidak relevan dengan pengalaman itu. Contoh dengan permainan block logic, anak diberi kegiatan untuk membentuk kelompok bangun yang tipis, atau yang berwarna merah, kemudian membentuk kelompok benda berbentuk segitiga, atau yang tebal, dan sebagainya. Dalam membentuk kelompok bangun yang tipis, atau yang merah, timbul pengalaman terhadap konsep tipis dan merah, serta timbul penolakan terhadap bangun yang tipis (tebal), atau tidak merah (biru, hijau, kuning).
    3.      Permainan Kesamaan Sifat (Searching for communalities)
    Dalam mencari kesamaan sifat siswa mulai diarahkan dalam kegiatan menemukan sifat-sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti. Untuk melatih dalam mencari kesamaan sifat-sifat ini, guru perlu mengarahkan mereka dengan menstranslasikan kesamaan struktur dari bentuk permainan lain. Translasi ini tentu tidak boleh mengubah sifat-sifat abstrak yang ada dalam permainan semula. Contoh kegiatan yang diberikan dengan permainan block logic, anak dihadapkan pada kelompok persegi dan persegi panjang yang tebal, anak diminta
    mengidentifikasi sifat-sifat yang sama dari benda-benda dalam kelompok tersebut
    (anggota kelompok).
    4.      Permainan Representasi (Representation)
    Representasi adalah tahap pengambilan sifat dari beberapa situasi yang sejenis. Para siswa menentukan representasi dari konsep-konsep tertentu. Setelah mereka berhasil menyimpulkan kesamaan sifat yang terdapat dalam situasi-situasi yang dihadapinya itu. Representasi yang diperoleh ini bersifat abstrak, Dengan demikian telah mengarah pada pengertian struktur matematika yang sifatnya abstrak yang terdapat dalam konsep yang sedang dipelajari. Contoh kegiatan anak untuk menemukan banyaknya diagonal poligon (misal segi dua puluh tiga) dengan pendekatan induktif seperti berikut ini.
    Segitiga Segiempat Segilima Segienam Segiduapuluhtiga
    0 diagonal 2 diagonal 5 diagonal ..... diagonal ……. diagonal
    5.      Permainan dengan Simbolisasi (Symbolization)
    Simbolisasi termasuk tahap belajar konsep yang membutuhkan kemampuan merumuskan representasi dari setiap konsep-konsep dengan menggunakan simbol matematika atau melalui perumusan verbal. Sebagai contoh, dari kegiatan mencari banyaknya diagonal dengan pendekatan induktif tersebut, kegiatan berikutnya menentukan rumus banyaknya diagonal suatu poligon yang digeneralisasikan dari pola yang didapat anak.
    6.      Permainan dengan Formalisasi (Formalization)
    Formalisasi merupakan tahap belajar konsep yang terakhir. Dalam tahap ini siswa-siswa dituntut untuk mengurutkan sifat-sifat konsep dan kemudian merumuskan sifat-sifat baru konsep tersebut, sebagai contoh siswa yang telah mengenal dasar-dasar dalam struktur matematika seperti aksioma, harus mampu
    merumuskan teorema dalam arti membuktikan teorema tersebut. Contohnya, anak didik telah mengenal dasar-dasar dalam struktur matematika seperti aksioma, harus mampu merumuskan suatu teorema berdasarkan aksioma, dalam arti membuktikan teorema tersebut.
    Pada tahap formalisasi anak tidak hanya mampu merumuskan teorema serta membuktikannya secara deduktif, tetapi mereka sudah mempunyai pengetahuan tentang sistem yang berlaku dari pemahaman konsep-konsep yang terlibat satu sama lainnya. Misalnya bilangan bulat dengan operasi penjumlahan peserta sifat-sifat tertutup, komutatif, asosiatif, adanya elemen identitas, dan mempunyai elemen invers, membentuk sebuah sistem matematika. Dienes menyatakan bahwa proses pemahaman (abstracton) berlangsung selama belajar. Untuk pengajaran konsep matematika yang lebih sulit perlu dikembangkan materi matematika secara kongkret agar konsep matematika dapat dipahami dengan tepat. Dienes berpendapat bahwa materi harus dinyatakan dalam berbagai penyajian (multiple embodiment), sehingga anak-anak dapat bermain dengan bermacam-macam material yang dapat mengembangkan minat anak didik. Berbagai penyajian materi (multiple embodinent) dapat mempermudah proses pengklasifikasian abstraksi konsep.
    Menurut Dienes, variasi sajian hendaknya tampak berbeda antara satu dan
    lainya sesuai dengan prinsip variabilitas perseptual (perseptual variability), sehingga anak didik dapat melihat struktur dari berbagai pandangan yang berbeda-beda dan memperkaya imajinasinya terhadap setiap konsep matematika yang disajikan. Berbagai sajian (multiple embodiment) juga membuat adanya manipulasi secara penuh tentang variabel-variabel matematika. Variasi matematika dimaksud untuk membuat lebih jelas mengenai sejauh mana sebuah konsep dapat digeneralisasi terhadap konsep yang lain. Dengan demikian, semakin banyak bentuk-bentuk berlainan yang diberikan dalam konsep tertentu, semakin jelas bagi anak dalam memahami konsep tersebut.
    Berhubungan dengan tahap belajar, suatu anak didik dihadapkan pada permainan yang terkontrol dengan berbagai sajian. Kegiatan ini menggunakan kesempatan untuk membantu anak didik menemukan cara-cara dan juga untuk mendiskusikan temuan-temuannya. Langkah selanjutnya, menurut Dienes, adalah memotivasi anak didik untuk mengabstraksikan pelajaran tanda material kongkret dengan gambar yang sederhana, grafik, peta dan akhirnya memadukan simbolo - simbol dengan konsep tersebut. Langkah-langkah ini merupakan suatu cara untuk memberi kesempatan kepada anak didik ikut berpartisipasi dalam proses penemuan dan formalisasi melalui percobaan matematika. Proses pembelajaran ini juga lebih melibatkan anak didik pada kegiatan belajar secara aktif dari pada hanya sekedar menghapal. Pentingnya simbolisasi adalah untuk meningkatkan kegiatan matematika ke satu bidang baru.
    C.    Kesimpulan
    Perkembangan kognitif setiap individu yang berkembang secara kronologi tidak terlepas dari faktor usia, pola berpikir anak-anak tidak sama dengan pola berfikir orang dewasa, semakin ia dewasa makin meningkat pula kemampuan berpikirnya. Jadi, dalam memandang anak keliru jika kemampuan anak dengan kemampuan orang dewasa sama, sebab anak bukan miniatur orang dewasa.
    Selain daripada itu, perkembangan kognitif seorang individu dipengaruhi oleh lingkungan dan transmisi sosial. Jadi, karena efektivitas hubungan antara setiap individu dengan lingkunganya dan kehidupan sosialnya berbeda satu sama lain. Maka tahap perkembangan kognitif yang dicapai oleh setiap individu berbeda pula. Oleh karena itu agar perkembangan kognitif seorang anak berjalan secara maksimal diperkaya dengan pengalaman edukatif.
    D.    Daftar Pustaka
    Dahar, 1988.  Teori-Teori Belajar.  Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pengambangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.
    Lambas, dkk. 2004: Materi Pelatihan Terintegrasi Matematika Buku 3:  DEPDIKNAS.Jakarta
    Nur, 1999.  Teori Pembelajaran Kognitif.  Universitas Negeri Surabaya.
    Ratumanan, T.G. 2004. Belajar dan Pembelajaran. Unesa University Press, Surabaya.
    Tim MKPBM, 2001.  Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.  JICA Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).
    Teori Belajar Robert M. Gagne
    Robert M. Gagne, seorang professor dan ahli psikologi  yang telah banyak membuat penyelidikan mengenai fase dalam rangkaian pembelajaran dan jenis pembelajaran.
    Teori belajar yang dikemukakan Robert M. Gagne merupakan perpaduan yang seimbang antara behaviorisme dan kognitivisme, yang berpangkal pada teori pemrosesan informasi. Gagne menggunakan matematika sebagai medium untuk menguji dan mengembangkan teori belajarnya. Menurutnya, kunci bagi pengembangan teori belajar yang bersifat menyeluruh adalah mengenai faktor-faktor yang memperjelas sifat yang rumit dari proses belajar seseorang. Ahli-ahli teori yang lain biasanya mulai dengan memberikan penjelasan khusus mengenai proses belajar dan kemudian berusaha mengenakan proses tersebut pada belajar yang dilakukan orang. Kebalikannya, Gagne mulai dengan melakukan kupasan atas berbagai performasi dan keterampilan yang dilakukan orang dan kemudian memberikan penjelasan atas adanya keragaman ini.
    Menurut gagne (1975), belajar merupakan sesuatu yang terjadi dalam benak seseorang, di dalam otaknya. Belajar disebut suatu proses karena secara formal ia dapat dibandingkan dengan proses-proses organik manusia lainnya, seperti pencernaan dan pernapasan. Namun belajar merupakan proses yang rumit dan kompleks. Belajar terjadi ketika seseorang merespon dan menerima rangsangan dari lingkungan eksternalnya. Belajar merupakan proses yang memungkinkan manusia memodifikasi tingkah lakunya secara permanen, sedemikian hingga modifikasi yang sama tidak akan terjadi lagi pada situasi baru. Pengamat akan mengetahui tentang terjadinya proses belajar pada orang yang diamati bila pengamat itu memperhatikan terjadinya perubahan tingkah laku. Kematangan menurut Gagne, bukanlah belajar, sebab perubahan tingkah laku yang terjadi, dihasilkan dari pertumbuhan struktur dan diri manusia itu. Dengan demikian belajar terjadi bila individu merespon terhadap stimulus yang datangnya dari luar, sedangkan kematangan datangnya memang dari dalam diri orang itu. Perubahan tingkah laku yang tetap sebagai hasil belajar harus terjadi bila orang tersebut berinteraksi dengan lingkungan.
    Komponen- komponen dalam proses belajar menurut Gagne dapat digambarkan sebagai S     R. S adalah situasi yang memberi stimulus, R adalah respons atas stimulus itu, dan garis di antaranya adalah hubungan di antara stimulus dan respon yang terjadi dalam diri seseorang yang tidak dapat kita amati, yang bertalian dengan sistem alat saraf di mana terjadi transformasi perangsang yang diterima melalui alat dria. Stimulus ini merupakan input yang berada di luar individu dan respon adalah outputnya, yang juga berada di luar individu sebagai hasil belajar yang dapat diamati.
    1.      Fase-fase Belajar
    Robert M. Gagne (dalam Margaret) menerapkan konsep pengolahan (proses) kognitif dalam kupasannya terhadap hal belajar. Ia menemukan delapan tahapan pengolahan yang esensial bagi belajar dan harus dilaksanakan secara berurutan. Kedelapan tahapan itu disebut fase belajar.
     a.      Fase mengarahkan perhatian (attending phase)
    Pada fase ini akan menjadikan siswa peka/sadar akan adanya stimulus yang muncul dari situasi belajar. Siswa dapat melihat stimulus-stimulus tersebut dan sifat-sifatnya.  Apa yang dilihat siswa, akan diberi kode secara unik oleh setiap siswa dan akan dicatat dalam pikirannya. Hal ini biasa terjadi dalam proses belajar mengajar. Bila guru memberikan pelajaran (stimulus), mungkin guru melihat isi pelajaran berbeda dengan yang dilihat siswa, dan setiap siswa mungkin saja berbeda persepsinya satu dengan yang lainnya.
    b.      Fase pengharapan (expectancy phase)
    Pada fase ini membawa siswa tahu tujuan belajar. Misalnya siswa menetapkan bahwa ia akan memperoleh suatu keterampilan motorik, defenisi baru, atau belajar memecahkan suatu masalah. Orientasi tujuan yang sudah terbentuk pada tahap ini membuat siswa bisa memilih hasil apa yang sesuai pada tiap fase berikutnya dalam pengolahan informasi.
     c.      Fase perolehan (Acquisition phase)
    Ini merupakan fase mendapatkan fakta, keterampilan, konsep atau prinsip yang dipelajari. Pemilikan pengetahuan dapat ditentukan dengan mengamati atau mengukur apa yang telah dimilikinya itu. Hal ini perlu dilakukan di dalam proses belajar mengajar agar supaya guru dapat mengetahui apa yang telah dimiliki dan apa yang belum dimiliki.
    d.      Fase retensi (Retention phase)
    Dalam fase ini kemampuan baru yang telah diperoleh dipertahankan atau diingat. Sarana menyimpan bagi manusia adalah ingatan (memory). Penelitian mengindikasikan bahwa terdapat dua tipe memori, yaitu memori jangka pendek (short term memory) dan memori jangka panjang (long term memory). Memori jangka pendek mempunyai kapasitas terbatas dan hanya bertahan dalam waktu singkat. Banyak orang dapat menahan (menyimpan) tujuh atau delapan informasi berbeda dalam memori selama tiga puluh detik. Memori jangka panjang adalah kemampuan kita mengingat informasi selama lebih dari tiga puluh detik, dan ini disimpan dalam pikiran secara permanen.
    Gagne mendeskripsikan beberapa ciri yang mungkin dimiliki fase ini, sebagai berikut.
    1)      Apa yang telah dipelajari mungkin tersimpan di dalam suatu bentuk yang permanen, tetap intens selama bertahun-tahun, seperti tersimpan dalam suatu pita megnetik ajaib.
    2)      Beberapa hal yang dipelajari mungkin memudar sedikit demi sedikit sejalan dengan berlalunya waktu.
    3)      Gudang ingatan mungkin mengalami pencampuradukan dalam arti ingatan yang baru mengaburkan ( atau mungkin menghapus) yang terlebih dulu karena mereka bercampur baur.
     e.      Fase memanggil kembali (Retrieval phase)
    Yaitu kemampuan memanggil ke luar (call out) informasi yang telah dimiliki dan disimpan dalam memori. Proses memanggil kembali informasi ini adalah sangat tidak teliti (imprecise), tidak teratur (disorganized), dan malahan penuh rahasia (mystical). Kadang-kadang informasi yang diinginkan, misalnya “nama”, tidak dapat dipanggil keluar dari memori atas permintaan seseorang, tetapi kemudian mungkin saja ke luar pada saat orang itu memikirkan sesuatu yang tidak ada kaitan dengan “nama” tadi. Ada informasi yang tersimpan dalam pikiran (memori) begitu dalamnya, sehingga diperlukan teknik khusus, misalnya dengan rangsangan elektrik untuk mengeluarkannya.
     f.      Fase generalisasi (Generalization phase)
    Tujuan belajar bukanlah sekedar untuk menambah pengetahuan atau mengubah kelakuan, akan tetapi agar apa yang dipelajari itu dapat digunakan dalam berbagai situasi lain, sehingga mantap dan dapat terus digunakan. Menggunakan apa yang dipelajari dalam situasi-situasi yang baru yang belum pernah dihadapi sebelumnya disebut transfer. Menurut Gagne, konteks yang bervariasi untuk belajar merupakan suatu hal yang esensial yang dapat menjamin terjadinya transfer dalam proses belajar.
    Transfer dapat bersifat horizontal, yakni apa yang dipelajari itu dapat digunakan untuk situasi-situasi lain yang bersamaan dan setaraf tingkatnya. Misalnya prinsip-prinsip yang dipelajari dalam matematika dapat digunakan dalam ilmu bumi, fisika, atau kimia. Di samping itu ada lagi transfer vertikal. Apa yang  dipelajari dapat digunakan untuk mencapai prinsip yang lebih tinggi. Hierarki dalam tipe belajar menunjukkan perlunya dikuasai tipe belajar yang lebih rendah agar dapat dipelajari tipe belajar yang lebih tinggi. Tipe belajar yang lebih rendah menjadi prasyarat untuk tipe belajar pada tingkat yang lebih tinggi.
    g.      Fase penampilan (Performance phase)
    Dalam fase ini, siswa menampilkan tindakan/tingkah laku yang merefleksikan apa yang sudah ia pelajari. Tingkah laku baru yang ditampilkan sebagai hasil belajar ini, penting bagi siswa karena akan memberikan kepuasan, dan selanjutnya akan mendorongnya untuk belajar lebih lanjut. Fase ini memberikan gambaran apakah tujuan belajar telah tercapai atau belum.
    h.      Fase umpan balik ( Feedback phase)
    Belajar tidak dengan sendirinya berhasil baik. Oleh sebab itu pelajar harus mengetahui apakah jawabannya tepat. Feedback pada manusia merupakan tanda bahwa jawabannya benar. Di sini pun tak perlu selalu dikatakan bahwa jawabannya itu benar. Sering anak mengetahuinya dari senyuman, anggukan kepala, pandangan mata guru atau isyarat lain. Feedback mempertinggi efektivitas dan efisiensi belajar.
    Feedback dapat juga dilakukan oleh murid sendiri, yakni bila ia dapat atau diberi jalan untuk memeriksa sendiri benar tidaknya jawabannya. Mengetahui keberhasilan belajar memberi kepuasan yang mempercepat proses belajar. Siswa yang sanggup men-check kebenaran hasil belajarnya telah sanggup untuk belajar secara individual dan belajar sepanjang hidupnya. Tidak ada metode mengajar yang menjamin keberhasilan. Keberhasilan  baru diketahui bila ada penilaian yang dapat menunjukkan kesalahan dan kekurangan sebagai feedback untuk diperbaiki. Mengabaikan feedback adalah meniadakan salah satu aspek yang penting dalam proses belajar.
    Teori Belajar Polya
    Polya (1985) mengartikan pemecahan masalah sebagai satu usaha mencari jalan keluar dari satu kesulitan guna mencapai satu tujuan yang tidak begitu mudah segera untuk dicapai, sedangkan menurut utari (1994) dalam (hamsah 2003) mengatakan bahwa pemecahan masalah dapat berupa menciptakan ide baru, menemukan teknik atau produk baru. Bahkan didalam pembelajaran matematika, selain pemecahan masalah mempunyai arti khusus, istilah tersebut mempunyai interpretasi yang berbeda, misalnya menyelesaikan soal cerita yang tidak rutin dan mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari.Polya(1985) mengajukan empat langkah fase penyelesaian masalah yaitu memahami masalah, merencanakan penyelesaian, menyelesaikan masalah dan melakukan pengecekan kembali semua langkah yang telah dikerjakan.
    Fase memahami masalah tanpa adanya pemahaman terhadap masalah yang diberikan, siswa tidak mungkin menyelesaikan masalah tersebut dengan benar, selanjutnya para siswa harus mampu menyusun rencana atau strategi.
    Penyelesaian masalah, dalam fase ini sangat tergantung pada pengalaman siswa lebih kreatif dalam menyusun penyelesaian suatu masalah, jika rencana penyelesaian satu masalah telah dibuat baik tertulis maupun tidak. Langkah selanjutnya adalah siswa mampu menyelesaikan masalah, sesuai dengan rencana yang telah disusun dan dianggap tepat. Dan langkah terakhir dari proses penyelesaian masalah menurut polya adalah melakukan pengecekan atas apa yang dilakukan. Mulai dari fase pertama hingga hingga fase ketiga. Dengan model seperti ini maka kesalahan yang tidak perlu terjadi dapat dikoreksi kembali sehingga siswa dapat menemukan jawaban yang benar-benar sesuai dengan masalah yang diberikan.
    Tingkat kesulitan soal pemecahan masalah harus di sesuaikan dengan tingkat kemampuan siswa. Hasil penelitian Driscol (1982). Pada anak usia sekolah dasar kemampuan pemecahan masalah erat sekali hubungannya dengan pemecahan masalah. Disadari atau tidak setiap hari kita diperhadapkan dengan berbagai masalah yang dalam penyelesaiannya, sering kita diperhadapkan dengan masalah–masalah yang pelik dan tidak bisa diselesaikan dengan segera. Dengan demikian, tugas guru adalah membantu siswa dalam menyelesaikan masalah dengan spektrum yang luas yakni membantu siswa dalam memehami masalah, sehingga kemampuan dalam memahami konteks masalah bisa terus berkembang menggunakan kemampuan inguiri dalam menganalisa alasan mengapa masalah itu muncul. Dalam matematika hal seperti itu biasanya berupa pemecahan masalah yang didalamnya termuat soal cerita untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam pemecahan masalah hal yang perlu ditingkatkan adalah kemampuan menyangkut berbagai hal teknik dan strategi pemecah masalah,pengetahuan, keterampilan dan pemahaman merupakan elemen–elemen penting dalam belajar matematika terkadang guru menghadapi kesulitan dalam mengajarkan cara menyelesaikan masalah dengan baik. Sementara dipihak lain siswa mengalami kesulitan bagaimana menyelesaikan masalah yang diberikan guru, kesulitan ini muncul, karena mencari jawaban dipandang sebagai satu-satunya tujuan yang ingin dicapai, karena hanya terfokus pada jawaban.
    A.                Perencanaan Mengajarkan Pemecahan Masalah
    Mengajar siswa untuk memecahkan masalah perlu perencanaan. Secara-garis besar, perencanaan itu sebagai berikut.
    (1)               Merumuskan tujuan.
    Tujuan itu hendaknya menyatakan bahwa siswa akan mampu menyelesaikan masalah-masalah yang tidak rutin. Soal-soal yang serupa benar hendaknya dihindarkan sebab soal-soal yang demikian itu menjadi bukan masalah lagi bagi siswa tertentu.
    (2)               Memerlukan pra-syarat.
    Untuk menyelesaikan setiap masalah matematika, seorang siswa memerlukan pra-syarat pengetahuan, keterampilan dan pemahaman. Guru harus mengindentifikasi apa-apa yang sudah dipelajari siswa untuk suatu masalah sehingga masalah-masalah yang cocok sajalah yang disajikan kepada para siswa
    Misalnya masalah berikut.
    Buktikan jumlah dua bilangan prima kembar yang bukan 3 dan 5 habis dibagi 6.
    Prasyarat yang perlu dimiliki seorang siswa untuk menyelesaikan masalah itu adalah bahwa siswa itu sudah mengerti arti habis dibagi 6, bilangan prima dan bilangan prima kembar. la sudah terampil menggunakan operasi membagi.
    (3)               Mengajarkan Pemecahan Masalah.
    Untuk belajar memecahkan masalah, para siswa harus mempunyai kesempatan untuk menyelesaikan masalah. Apabila mereka berhasil menyelesaikan masalah, mereka perlu mendapatkan penghargaan. Jadi mereka perlu mendapatkan pendekatan pedagogik untuk menyelesaikan masalah. Yang menjadi pertanyaan ialah bagaimana seorang guru menyiapkan masalah-masalah untuk para siswa dan bagaimana guru itu membuat para siswa tertarik dan suka menyelesaikan masalah yang dihadapi. Guru harus mempunyai bermacam-macam masalah yang cocok sehingga bermakna bagi para siswanya. Sumber-sumber boleh diambil dari buku-buku, majalah-majalah yang berhubungan dengan matematika sekolah. Berikan masalah-masalah itu sebagai pekerjaan rumah. Pada suatu saat boleh juga para siswa memilih sendiri masalah-masalah itu, mengerjakan masalah-masalah tersebut, membicarakannya dan kemudian menyajikan penyelesaianya di depan kelas. Masalah-masalah tersebut dapat dikerjakan secara individu atau kelompok.
    Agar supaya para siswa tertarik dan suka menyelesaikan masalah yang dihadapi perlu diberikan penghargaan. penghargaan itu dapat berupa nilai atau penghargaan khusus lainnya. Pujian juga jangan dilupakan. Hal itu semuanya merupakan cara yang efektif untuk mendorong keberhasilan, walaupun banyak juga para siswa yang dengan senang hati menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi mereka memberikan penghargaan kepada diri mereka sendiri dengan kcberhasilan mereka itu.
    Pertanyaan berikutnya yang timbul : "Bagaimana seorang siswa memulai menyelesaikan suatu masalah?" "Bagaimana strategi yang dapat dilakukan?" "Kemampuan apa yang akan bermanfaat baginya untuk menyelesaikan masalah itu?" Ketiga hal ini, secara bersama-sama merupakan usaha untuk menemukan.Untuk dapat mengajarkan pemecahan masalah dengan baik ada beberapa hal yang perlu diperhatikan :
    1. Waktu yang diperlukan, untuk menyelesikan masalah sangat relatif artinya jika seseorang diperhadapkan dengan satu masalah dengan waktu yang diberikan untuk menyelesaikannya tidak dibatasi, maka kecendrungannya, orang tersebut tidak akan mengkonsentrasikan fikirannya secara penuh pada proses penyelesaian masalah yang diberikan.
    2. Perencanaan, aktivitas pembelajaran dan waktu yang diperlukan harus direncanakan serta dikoordinasikan, sehingga siswa memiliki kesempatan yang cukup untuk menyelesaikan  berbagai masalah dan menganalisis serta mendiskusikan pendekatan yang mereka pilih.
    3. Sumber, buku matematika biasanya banyak memuat masalah yang sifatnya hanya rutin, maka guru dituntut untu menyembunyikan masalah-masalah lain sehingga dapat menambah soal pemecahan masalah.
    4. Teknologi, sekalipun banyak kalangan yang tidak setuju dengan penggunaan kalkulator disekolah akan tetapi pada hal tertentu dapat digunakan, karena alat tersebut perlu dipertimbangkan penggunaannya.
    C.    Langkah-langkah Penerapan strategi penyelesaian masalah menurut Polya.
    Berbicara pemecahan masalah, kita tidak bisa terlepas dari tokoh utamanya yaitu Polya.  Menurut polya dalam pemecahan masalah.  Ada empat langkah yang harus dilakukan,
    Keempat tahapan ini lebih dikenal dengan See (memahami problem), Plan (menyusun rencana), Do (melaksanakan rencana) dan Check (menguji jawaban), sudah menjadi jargon sehari-hari dalam penyelesaian problem sehingga Polya layak disebut dengan “Bapak problem solving.”
    Gambaran umum dari Kerangka kerja Polya:
    1.         Pemahaman pada masalah (Identifikasi dari tujuan)
    Langkah pertama adalah membaca soalnya dan meyakinkan diri bahwa anda memahaminya secara benar. Tanyalah diri anda dengan pertanyaan :
    o   Apa yang tidak diketahui?
    o   Kuantitas apa yang diberikan pada soal?
    o   Kondisinya bagaimana?
    o   Apakah ada kekecualian?
    Untuk beberapa masalah akan sangat berguna untuk membuat diagranmnya dan mengidentifikasi kuantitas-kuantitas yang diketahui dan dibutuhkan pada diagram tersebut. Biasanya dibutuhkan membuat beberapa notasi ( x, a, b, c, V=volume, m=massa dsb ).
    2.         Membuat Rencana Pemecahan Masalah
    Kedua: Carilah hubungan antara informasi yang diberikan dengan yang tidak diketahui yang memungkinkan anda untuk memghitung variabel yang tidak diketahui. Akan sangat berguna untuk membuat pertanyaan: “Bagaimana saya akan menghubungkan hal yang diketahui untuk mencari hal yang tidak diketahui? “. Jika anda tak melihat hubungan secara langsung, gagasan berikut ini mungkin akan menolong dalam membagi masalah ke sub masalah
    o   Membuat sub masalah
    o   Pada masalah yang komplek, akan sangat berguna untuk membantu jika anda membaginya kedalam beberapa sub masalah, sehingga anda dapat membangunya untuk menyelesaikan masalah.
    o   Cobalah untuk mengenali sesuatu yang sudah dikenali.
    o   Hubungkan masalah tersebut dengan hal yang sebelumnya sudah dikenali. Lihatlah pada hal yang tidak diketahui dan cobalah untuk mengingat masalah yang mirip atau memiliki prinsip yang sama.
    o   Cobalah untuk mengenali polanya.
    o   Beberapa masalah dapat dipecahkan dengan cara mengenali polanya. Pola tersebut dapat berupa pola geometri atau pola aljabar. Jika anda melihat keteraturan atau pengulangan dalam soal, anda dapat menduga apa yang selanjutnya akan terjadi dari pola tersbut dan membuktikannya.
    o   Gunakan analogi
    o   Cobalah untuk memikirkan analogi dari masalah tersebut, yaitu, masalah yang mirip, masalah yang berhubungan, yang lebih sederhana sehingga memberikan anda petunjuk yang dibutuhkan dalam memecahkan masalah yang lebih sulit. Contoh, jika masalahnya ada pada ruang tiga dimensi, cobalah untuk melihat masalah sejenis dalam bidang dua dimensi. Atau jika masalah terlalu umum, anda dapat mencobanya pada kasus khusus
    o   Masukan sesuatu yang baru
    o   Mungkin suatu saat perlu untuk memasukan sesuatu yang baru, peralatan tambahan, untuk membuat hubunganantara data dengan hal yang tidak diketahui.Contoh, diagram sangat bermanfaat dalam membuat suatu garis bantu.
    o   Buatlah kasus
    o   Kadang-kadang kita harus memecah sebuah masalah kedalam beberapa kasus dan pecahkan setiap kasus terbut.
    o   Mulailah dari akhir (Asumsikan Jawabannya)
    Sangat berguna jika kita membuat pemisalan solusi masalah, tahap demi tahap mulai dari jawaban masalah sampai ke data yang diberikan
    3.         Malaksanakan Rencana
    Ketiga. Menyelesaikan rencana anda.
    Dalam melaksanakan rencana yang tertuang pada langkah kedua, kita harus memeriksa tiap langkah dalam rencana dan menuliskannya secara detail untuk memastikan bahwa tiap langkah sudah benar. Sebuah persamaan tidaklah cukup!
    4.         Lihatlah kembali
    Keempat. Ujilah solusi yang telah didapatkan.
    Kritisi hasilnya. lihatlah kelemahan dari solusi yang didapatkan (seperti: ketidak konsistenan atau ambiguitas atau langkah yang tidak benar )
    Pada saat guru menggunakan strategi ini, sebaiknya ditekankan bahwa penggunaan objek yang dicontohkan dapat diganti dengan satu model yang lebih sederhana, misalnya :
    1. Membuat gambar atau diagram.
    Penekanan ini perlu dilakukan bahwa gambar atau diagram yang dibuat tidak perlu sempurna, terlalu bagus atau terlalu aktual, yang penting bagian-bagian terpenting dari gambar itu dapat memperjelas masalah.
    1. Menemukan pola
    Kegiatan matematika yang berkaitan dengan proses menemukan suatu poladari sejumlah data yang diberikan, dapat mulai dilakukan melalui sekumpulan gambar atau bilangan.  Kegiatan yang mungkin dilakukan antara lain dengan mengobservasi sifat-sifat yang dimiliki bersama oleh kumpulan gambar atau bilangan yang tersedia.  Sebagai suatu strategi untuk pemecahan masalah, pencarian pola yang pada awalnya hanya dilakukan secara pasif melalui permasalahan yang dikeluarkan oleh guru, pada suatu saat keterampilan itu akan terbentuk dengan sendirinya sehingga pada saat menghadapi permasalahan tertentu, salah satu pertanyaan yang mungkin muncul pada benak seseorang antara lain adalah :”Adakah pola atau keteraturan tertentu yang mengaitkan tiap data yang diberikan?”.  Tanpa melalui latihan sangat sulit bagi seseorang untuk menyadari bahwa dalam permasalahan yang dihadapinya terdapat pola yang bisa diungkap.
    1. Membuat tabel
    Mengorganisasi data ke dalam sebuah tabel dapat membantu kita dalam mengungkapkan suatu pola tertentu serta dalam mengidentifikasi informasi yang tidak lengkap.  Penggunaan tabel merupakan langkah yang sangat efisien untuk melakukan klasifikasi serta menyusun sejumlah besar data sehingga apabila muncul pertanyaan baru berkenaan dengan data tersebut, maka kita akan dengan mudah menggunakan data tersebut, sehingga jawaban pertanyaan tadi dapat diselesaikan dengan baik.
    1. Memperhatikan semua kemungkinan secara sistematik
    Strategi ini biasanya digunakan bersamaan dengan strategi mencari pola dan menggambar tabel.  Dalam menggunakan strategi ini, kita tidak perlu memperhatikan keseluruhan kemungkinan yang bisa terjadi.Yang kita perhatikan adalah semua kemungkinan yang diperoleh dengan cara sistematik. Yang dimaksud sistematik disini misalnya dengan mengorganisasikan data berdasarkan kategori tertentu.  Namun demikian, untuk masalah-masalah tertentu, mungkin kita harus memperhatikan semua kemungkinan yang bisa terjadi.
    1. Tebak dan periksa ( Guess and Check )
    Strategi menebak yang dimaksudkan disini adalah menebak yang didasarkan pada alasan tertentu serta kehati-hatian.  Selain itu, untuk dapat melakukan tebakan dengan baik seseorang perlu memiliki pengalaman cukup yang berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi
    Contoh:
    Letakkan bilangan-bilangan dalam kotak di bawah ini pada persegi-persegi, sehingga bilangan yang terletak pada masing-masing lingkaran berjumlah sama.
    -1    -2     -3     -4    -5     -6
    Jawab
    1.      Pemahaman pada masalah (Identifikasi dari tujuan)
    Diketahui:
    a.       Meletakkan Bilangan-bilangan dalam kotak yang satu lingkaran
    b.      Bilangan –bilangan itu: 
    -1    -2     -3     -4    -5     -6
    2.      Membuat Rencana Pemecahan Masalah
    Lakukan percobaan dengan cara mengambil satu persatu bilangan yang diketahui kemudian jumlahkan yang terletak pada satu lingkaran.
    3.      Malaksanakan Rencana
    Dengan berbagai percobaan didapatlah sebagai berikut.
    -6
    -3
    -5
    -2
    -1
    -4
    4.      Lihatlah kembali
    Dengan memeriksa setelah memasukkan digit tadi, sehingga lebih yakinlah peserta didik.
    1. Strategi kerja mundur
    Suatu masalah kadang-kadang disajikan dalam suatu cara sehingga yang diketahui itu sebenarnya merupakan hasil dari proses tertentu, sedangkan komponen yang ditanyakan merupakan komponen yang seharusnya muncul lebih awal. Penyelesaian masalah seperti ini biasanya dapat dilakukan dengan menggunakan strategi mundur.
    Contoh:
    Bagas dan Soni berencana untuk makan di warung Pak Bimo dan pergi latihan softball bersama. Latihan softball dimulai pukul 10.00. Bagas memerlukan waktu ¾ jam untuk menjemput Soni dan pergi ke warung Pak Bimo dekat lokasi latihan softball. Untuk makan dan berjalan ke lokasi latihan diperlukan waktu 1 ¼ jam. Mereka ingin tiba di lokasi latihan 15 menit sebelum di mulai. Pukul berapa Bagas seharusnya meninggalkan rumahnya?
    Jawab:
    1.      Pemahaman pada masalah (Identifikasi dari tujuan)
    Diketahui:
    a.       softball dimulai pukul 10.00
    b.      Menjemput Soni ¾ jam
    c.       makan dan berjalan ke lokasi latihan 1 ¼ jam
    d.      ingin tiba di lokasi latihan 15 menit sebelum di mulai.
    e.       Pukul berapa Bagas seharusnya meninggalkan rumahnya?
    2.      Membuat Rencana Pemecahan Masalah
    Bekerja mundur salah satu langkah pemecahan masalah ini yang efektif dan efisien yaitu mulai dari pukul 10.00 kemudian dikurangi 15 menit dikurangi pula 1 ¼ jam selajutnya dikurangi lagi ¾ jam.
    3.      Malaksanakan Rencana
    Dengan memperhatikan rencana pemecahan masalah yang telah dibuat maka dapat dihitung sebagai berikut:
    Dimulai pukul 10.00. Tiba di lokasi 10.00-15 menit = 9.45
    Makan dan berjalan 9.45 – 1.15 = 8.30
    Menjemput Soni dan ke warung 8.30-45 menit = 7.45
    Jadi Bagas meninggalkan rumah pukul 7.45
    4.      Lihatlah kembali
    Dengan memeriksa setelah mendapatkan hasilnya dapatlah dicek kebenarannya dengan memulai berangkat dari pukul 7.45 kemudian menambahkan ¾ jam = 7.45 + 45 = 8.30 selajutnya 8.30 dijumlahkan dengan 1 ¼ jam = 8.30 + 1.15 = 9.45 . Hal ini berarti bahwa benar tiba 15 menit sebelum pukul 10.00 sehingga lebih yakinlah peserta didik bahwa jawaban yang dicari benar.
    1. Menggunakan kalimat terbuka
    Strategi ini juga termasuk sering diberikan dalam buku matematika sekolah dasar.  Walaupun strategi ini termasuk sering digunakan, akan tetapi pada langkah awal anak seringkali mendapat kesulitan untuk menentukan kalimat terbuka yang sesuai. Untuk sampai pada kalimat yang dicari, seringkali harus melalui penggunaan strategi lain, dengan maksud agar hubungan antar unsur yang terkandung di dalam masalah dapat dilihat secara jelas.  Setelah itu baru dibuat kalimat terbukanya.
    D.    Aplikasi Pemecahan Masalah Polya Dalam Pembelajaran Matematika
    1. Contoh : Seorang guru mengajukan masalah dengan meminta siswa untuk menjumlahkan 100 bilangan asli yang pertama.
    Jika siswa tersebut menjumlahkan angka 1,2,3...100 maka akan menyita waktu yang cukup lama untuk menemukan jawabannya, akan tetapi dengan menggunakan langkah-langkah pemecahan masalah maka waktu yang digunakan cukup cepat.
    Memahami masalah : bilangan 1,2,3,4...100 dengan demikian masalah yang muncul adalah 1+2+3...+100 = ....?
    Merencanakan penyelesaian, salah satu strategi yang diterapkan adalah mencari kemungkinan adanya satu pola.Untuk menyelesaikan masalah ini bila dilakukan pola seperti :
        1 + 2  + 3 + ............. + 100 = x
    100 + 99+98+...............+     1= x
    101 +101+101 + ..........+101 = 2x
    Karena jumlah nya 101maka ada 100 pasang bilangan yang berjumlah 101.
    Menyelesaikan masalah, jika terdapat 100 pasang bilangan 101, maka hasilnya adalah 2x, maka akan di peroleh 100 x 101 = 2X
                                                          X = 1010/ 2
                                                          X =  5050
    Memeriksa kembali, metode yang digunakan secara matematika sudah benar. Sebab penjumlahan dapat dilakukan dalam urutan yang berbeda dan perkalian adalah penjumlahan yang berulang.
    Jika masalah umum muncul, tentukanlah jumlah n bilangan asli yang pertama :
    1 + 2 + 3 ... + n. Dengan n bilangan asli.  Jika merupakan bilangan genap, maka cara seperti sebelumnya dapat digunakan
      1 + 2 + 3   + . . . . . . . . . .+ n = X
      n  + .................   .3 + 2  + 1  = X
    (n + 1 )                                    =2X
    pasangan bilangan yang masing-masing berjumlah n + 1.  Sebanyak n maka dengan demikian jumlah keseluruhan didapat ( n / 2 ) ( n + 1 ).
    1. Lima orang pemain catur, Ali, Ani, Amin, Hamsah, dan Suko berpartisipasi suatu pertandingan catur yang mewakili sekolahannya. Masing-masing ­tim harus paling sedikit seorang memainkan bidak hitam dan seorang yang lain memainkan bidak putih. Dua orang siswa mewakili ”Sekolah Nusantara" dan tiga orang siswa lainnya mewakili "Sekolah bumi putera". dari kelima siswa yang bertanding itu, tiga siswa memainkan bidak hitam, dua lainnya memainkan bidak putih. Ali dan Hamzah berasal dari sekolah yang sama, sedang Amin dan Suko berbeda sekolah. Ani dan Amin memainkan bidak yang sama sedang Hamzah dan Suko memainkan bidak yang berbeda warnanya. Seorang pemain bidak putih dari ”Sekolah Nusantara" sebagai pemenang. Siapa pemenang itu ?
    Jawab.
    1)      Memahami masalah.
    Dari kelima siswa.
    a)      Dalam bermain catur berpasangan, satu pihak memainkan bidak putih dan pihak lain memainkan bidak hitam.
    b)      Dua orang mewakili "Sekolah Nusantara", tiga orang mewakili "Sekolah bumi Putera".
    c)      Tiga orang memainkan bidak hitam, dua orang memainkan bidak putih
    d)     Ali dan Hamzah dari sekolah yang sama
    Amin dan Suko dari sekolah yang berbeda
    Ani dan Amin memainkan bidak yang sama warnanya
    Hamzah dan Suko memainkan bidak yang berbeda warnanya.
    2)      Merencanakan penyelesaian.
    Kita akan menyusun tabel yang disesuaikan dengan fakta, yang diketahui dengan tanda "+" atau ”-” untuk masing-masing pemain bidak hitam; pemain bidak putih. Juga ”+”   atau "-" masing-masing untuk Seko­ah Nusantara dan Sekolah Bumi Putera.
    Kategori
    Ali
    Ani
    Amin
    Hamzah
    Suko
    Bidak hitam
    Bidak putih
    Nusantara
    Bumi utera
    -
    +
    -
    +
    +
    -
    +
    -
    +
    -
    -
    +
    +
    -
    -
    +
    -
    +
    +
    -
    3)      Melaksanakan perencanaan.
    Ali dan Hamzah dari sekolah yang sama, Amin dan Suko dari sekolah yang berbeda. Apa yang dapat kita simpulkan ? (Ali dan Hamzah serta Amin atau Suko dari Sekolah Bumi Putera). Ani haruslah dari Sekolah Nusantara. Ani dan Amin memainkan bidak hitam, demikian juga Hamzah atau Suko. Jadi Ali memainkan bidak putih. Pemain bidak putih yang lain adalah Hamzah tidak dari Sekolah Nusantara. Suko yang dapat dari Sekolah Nusantara. Dengan demikian Suko adalah pemain bidak putih dan dari Sekolah Nusantara atau dengan kata lain pemenangnya adalah Suko.
    4)      Melihat Kembali Penyelesaian
    Langkah "melihat kembali" untuk melihat apakah penyelesaian yang kita peroleh sudah sesuai dengan ketentuan yang diketahui dan tidak terjadi kontradiksi merupakan langkah terakhir yang penting. Terdapat empat komponen untuk mereviu suatu penyelesaian sebagai berikut.
    (1)               Kita cek hasilnya.
    (2)               Kita intepertasikan jawaban yang kita peroleh.
    (3)               Kita bertanya kepada diri kita sendiri, apakah ada cara lain untuk mendapatkan penyelesian yang sama.
    (4)               Kita bertanya kepada diri kita sendiri apakah ada penyelesaian yang lain ?
    Perlu kita sadari janganlah kita langsung mengharapkan dapat menjawab benar untuk semua masalah. Menyelesaikan masalah memerlukan waktu dan berkelanjutan, tidak terpenggal-penggal dalam proses berpikir kita. Namun bila pendekatan yang kita gunakan tepat, nampaknya masalah yang sulit kadang-kadang berubah menjadi masalah yang mudah.
    B.     Karakteristik Bagi Orang Yang Mampu Melakukan Problem Solving
    Pemecahan masalah telah dilakukan beberapa puluh tahun yang lalu diantaranya di lakukan oleh Dodson (1971); Hollander (1974) dalam Wono Setya Budi (2005:3).   Menurut mereka kemampuan pemecahhan masalah yang harus ditumbuhkan adalah :
    1.                  Kemampuan mengerti konsep dan istilah matematika.
    2.                  Kemampuan untuk mencatat kesamaan, perbedaan dan analog.
    3.                  Kemampuan untuk mengidentifikasi elemen terpenting dan memilih prosedur yang benar.
    4.                  Kemampuan untuk mengetahui hal yang tidak berkaitan.
    5.                  Kemampuan menaksir dan menganalisa.
    6.                  Kemampuan mengvisualisasi dan menginterpretasi kuantitas.
    7.                  Kemampuan untuk memperumum berdasarkan beberapa contoh.
    8.                  Kemampuan untuk berganti metoda yang di ketahui.
    Selain kemampuan di atas, siswa mempunyai keadaan yang tentu untuk masa yang akan datang sehingga dengan percaya diri dapat mengembangkan kemampuan tersebut.
    Teori Belajar Jerome S. Bruner
    Jerome S. Bruner (1915) adalah seorang ahli psikologi perkembangan dan ahli psikologi belajar kognitif. Pendekatannya tentang psikologi adalah eklektik. Penelitiannya yang demikian banyak itu meliputi persepsi manusia, motivasi, belajar, dan berpikir. Dalam mempelajari manusia, Ia menganggap manusia sebagai pemproses, pemikir, dan pencipta informasi (dalam Wilis Dahar, 1988;118).
    Jerome S. Bruner dalam teorinya (dalam Suherman E., 2003;43) menyatakan bahwa belajar matematika akan lebih berhasil jika proses pengajaran diarahkan kepada konsep-konsep dan struktur-struktur yang terbuat dalam pokok bahasan yang diajarkan, di samping hubungan yang terkait antara konsep-konsep dan struktur-struktur. Dengan mengenal konsep dan struktur yang tercakup dalam bahan yang sedang dibicarakan, anak akan memahami materi yang harus dikuasainya itu. Ini menunjukkan bahwa materi yang mempunyai suatu pola atau struktur tertentu akan lebih mudah dipahami dan diingat anak.
    Bruner, melalui teorinya itu (dalam Suherman E., 2003), mengungkapkan bahwa dalam proses belajar anak sebaiknya diberi kesempatan untuk memanipulasi benda-benda (alat peraga). Melalui alat peraga yang ditelitinya itu, anak akan melihat langsung bagaimana keteraturan dan pola struktur yang terdapat dalam benda yang sedang diperhatikannya itu. Keteraturan tersebut kemudian oleh anak dihubungkan dengan keterangan intuitif yang telah melekat pada dirinya.
    Dengan memanipulasi alat-alat peraga, siswa dapat belajar melalui keaktifannya. Sebagaimana  yang dikemukakan oleh Bruner (dalam Suwarsono, 2002;25), belajar merupakan suatu proses aktif yang memungkinkan manusia untuk menemukan hal-hal baru di luar (melebihi) informasi yang diberikan pada dirinya. Sebagai contoh, seorang siswa yang mempelajari bilangan prima akan bisa menemukan berbagai hal yang penting dan menarik tentang bilangan prima, sekalipun pada awal mula guru hanya memberikan sedikit informasi tentang bilangan prima kepada siswa tersebut. Teori  Bruner  tentang kegiatan manusia tidak terkait dengan umur atau tahap perkembangan (berbeda dengan  Teori Piaget). Ada dua bagian yang penting  dari teori Bruner (dalam Suwarsono, 2002;25), yaitu :
    a.    Tahap-Tahap Dalam Proses Belajar
    b.   Teorema-teorema Tentang Cara Belajar dan Mengajar Matematika
    Penjelasan tentang kedua bagian tersebut adalah sebagai berikut:
    1.      Tahap-Tahap Dalam Proses Belajar
     Menurut Bruner, jika seseorang mempelajari suatu pengetahuan (Misalnya mempelajari suatu konsep Matematika), pengetahuan itu perlu dipelajari  dalam tahap-tahap tertentu, agar pengetahuan itu dapat diinternalisasi dalam pikiran (struktur kognitif) orang tersebut.  Proses internalisasi akan terjadi secara sungguh-sungguh (yang berarti proses belajar  terjadi secara optimal) jika pengetahuan  yang dipelajari itu dipelajari dalam tiga tahap, yang macamnya dan urutannya adalah sebagai berikut (dalam Suwarsono,2002;26) :
    1.      Tahap enaktif, yaitu  suatu tahap pembelajaran  sesuatu pengetahuan  di mana pengetahuan itu dipelajari secara aktif, dengan menggunakan benda-benda kongkret atau menggunakan situasi yang nyata.
    2.      Tahap Ikonik, yaitu suatu tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan di mana pegetahuan itu direpresentasikan (diwujudkan) dalam bentuk bayangan visual (visual imagery), gambar, atau diagram, yang menggambarkan kegiatan konkret atau situasi konkret yang terdapat pada tahap enaktif tersebut di atas.
    3.      Tahap simbolik, yaitu suatu tahap pembelajaran di mana pengetahuan itu direpresentasikan dalam bentuk simbol-simbol abstrak (Abstract symbols yaitu simbol-simbol arbiter yang dipakai berdasarkan kesepakatan orang-orang dalam bidang yang bersangkutan), baik simbol-simbol verbal (Misalnya huruf-huruf, kata-kata, kalimat-kalimat) lambang-lambang matematika, maupun lambang-lambang abstrak lainnya.
    Menurut Bruner, proses belajar akan berlangsung secara optimal jika proses pembelajaran diawali dengan tahap enaktif, dan kemudian jika tahap belajar yang pertama ini telah dirasa cukup, siswa beralih ke kegiatan belajar tahap kedua, yaitu tahap belajar dengan menggunakan modus representasi ikonik, dan selanjutnya, kegiatan belajar itu diteruskan dengan kegiatan belajar tahap ketiga yaitu tahap belajar dengan menggunakan modus representasi simbolik. Sebagai contoh, dalam mempelajari penjumlahan dua bilangan cacah, pembelajaran akan terjadi secara optimal jika mula-mula  siswa mempelajari  hal itu dengan menggunakan benda-benda konkret (Misalnya menggabungkan 3 kelereng dengan 2 kelereng dan kemudian menghitung banyaknya kelereng semuanya). Kemudian kegiatan belajar digunakan dengan menggunakan gambar atau diagram yang mewakili 3 kelereng dan 2 kelereng yang digabungkan tersebut (dan kemudian dihitung banyaknya kelereng semuanya, dengan menggunakan gambar atau diagram tersebut). Pada tahap yang kedua ini bisa juga siswa melakukan penjumlahan itu dengan menggunakan pembayangan visual (visual imagery) dari kelereng-kelereng tersebut. Pada tahap berikutnya, siswa melakukan penjumlahan  kedua bilangan itu dengan menggunakan lambang-lambang bilangan yaitu  3 + 2 = 5 (dalam Suwarsono,2002;27) .
                Di SLTP, dalam mempelajari irisan dua himpunan, siswa dapat mempelajari konsep tersebut dengan mula-mula menggunakan contoh nyata (konkret, misalnya dengan mengumpulkan data tentang siswa-siswa yang pergi ke sekolah dengan naik sepeda dan siswa-siswa yang menyukai olahraga basket (sebagai contoh), dan kemudian menentukan siswa-siswa yang pergi ke sekolah dengan naik sepeda dan menyukai  olahraga basket. Keadaan itu kemudian digambarkan dengan diagram venn. Selanjutnya, irisan dua himpunan dapat didefinisikan secara simbolik (dengan lambang-lambang), baik dengan lambang-lambang verbal (kata-kata, kalimat-kalimat) maupun dengan lambang-lambang matematika (Dalam hal ini notasi pembentuk himpunan) (dalam  Suwarsono,2002;25).
    2.      Teorema-Teorema Tentang Cara Belajar Dan Mengajar Matematika
     Menurut Bruner ada empat prinsip prinsip tentang cara belajar dan mengajar matematika yang disebut teorema. Keempat teorema tersebut adalah teorema penyusunan (Construction theorem), teorema notasi (Notation theorem), teorema kekontrasan dan keanekaragaman (Contras  and variation theorem), teorema pengaitan (Connectivity theorem) (dalam Suherman E., 2003;44-47).
    a)      Teorema penyusunan (Construction theorem)
    Teorema ini menyatakan bahwa bagi anak cara yang paling baik untuk belajar konsep dan prinsip dalam matematika adalah dengan melakukan penyusunan representasinya. Pada permulaan belajar konsep pengertian akan menjadi lebih melekat apabila kegiatan yang menujukkan representasi konsep itu dilakukan oleh siswa sendiri.
    Dalam proses perumusan dan penyusunan ide-ide, apabila anak disertai dengan bantuan benda-benda konkrit mereka lebih mudah mengingat ide-ide tersebut. Dengan demikian, anak lebih mudah menerapkan ide dalam situasi nyata secara tepat. Dalam hal ini ingatan diperoleh bukan karena penguatan, akan tetapi pengertian yang menyebabkan ingatan itu dapat dicapai. Sedangkan pengertian itu dapat dicapai karena anak memanipulasi benda-benda konkrit. Oleh karena itu pada permulaan belajar, pengertian itu dapat dicapai oleh anak bergantung pada aktivitas-aktivitas yang menggunakan benda-benda konkrit.
    Contoh, untuk memahami konsep penjumlahan misalnya 3 + 4 = 7, siswa bisa melakukan dua langkah berurutan, yaitu 3 kotak dan empat kotak pada garis bilangan. Dengan mengulangi hal yang sama untuk dua bilangan yang lainnya anak-anak akan memahami konsep penjumlahan dengan pengertian yang mendalam.
    b.)  Teorema Notasi
                Teorema notasi mengungkapkan bahwa dalam penyajian konsep, notasi memegang peranan penting. Notasi yang digunakan dalam menyatakan sebuah konsep tertentu harus disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif siswa. Ini berarti untuk menyatakan sebuah rumus misalnya, maka notasinya harus dapat dipahami oleh anak, tidak rumit dan mudah dimengerti.
                Sebagai contoh pada permulaan konsep fungsi diperkenalkan pada anak SD kelas-kelas akhir, notasi yang sesuai menyatakan fungsi       =2   + 3, untuk tingkat yang lebih tinggi misalnya siswa SMP notasi fungsi dituliskan y = 2x + 3, setelah anak memasuki SMA atau perguruan tinggi Notasi fungsi dituliskan dengan f(x) = 2x + 3.
                Notasi yang diberikan tahap demi tahap ini sifatnya berurutan dari yang paling sederhana sampai yang paling sulit. Urutan penggunaan notasi disesuaikan dengan tingkat perkembangan  kognitif anak.
    c.)  Teorema pengkontrasan dan keanekaragaman
    Dalam teorema ini dinyatakan bahwa dalam mengubah dari representasi konkrit menuju representasi yang lebih abstrak suatu konsep dalam matematika, dilakukan dengan kegiatan pengontrasan dan keanekaragaman. Artinya agar suatu konsep yang akan dikenalkan pada anak mudah dimengerti, konsep tersebut disajikan dengan mengontraskan dengan konsep-konsep lainnya dan konsep tersebut disajikan dengan beranekaragam contoh. Dengan demikian anak dapat memahami dengan mudah karakteristik konsep yang diberikan tersebut.
    Untuk menyampaikan suatu konsep dengan cara mengontraskan dapat dilakukan dengan menerangkan contoh dan bukan contoh. Sebagai contoh untuk menyampaikan konsep bilangan ganjil pada anak diberikan padanya bermacam-macam bilangan, seperti bilangan ganjil, bilangan genap, bilangan prima, dan bilangan lainnya selain bilangan ganjil. Kemudian siswa diminta untuk menunjukkan bilangan-bilangan yang termasuk contoh bilangan ganjil dan contoh bukan bilangan ganjil.
    Sebagai contoh lain, untuk menjelaskan pengertian persegipanjang, anak harus diberi contoh bujursangkar, belahketupat, jajar genjang dan segiempat lainnya selain persegipanjang. Dengan demikian anak dapat membedakan apakah segiempat yang diberikan padanya termasuk persegipanjang atau tidak.
    Dengan contoh soal yang beranekaragam, kita dapat menanamkan suatu konsep dengan lebih baik daripada hanya contoh-contoh soal yang sejenis saja. Dengan keanekaragaman contoh yang diberikan siswa dapat mengenal dengan jelas karakteristik konsep yang diberikan kepadanya. Misalnya, dalam pembelajaran konsep persegi panjang, persegi panjang sebaiknya ditampilkan dengan berbagai contoh yang bervariasi, misalnya ada persegi panjang yang posisinya bervariasi (ada yang kedua sisinya yang berhadapan terletak horisontal  dan dua sisi yang lainnya vertikal, ada yang posisinya miring, dan sebagainya).
    d.)  Teorema pengaitan (Konektivitas)
                Teorema ini menyatakan bahwa dalam matematika antara satu konsep dengan konsep lainnya terdapat hubungan yang erat, bukan saja dari segi isi, namun juga dari segi rumus-rumus yang digunakan. Materi yang satu mungkin merupakan prasyarat bagi yang lainnya, atau suatu konsep tertentu diperlukan untuk menjelaskan konsep lainnya. Misalnya konsep dalil Pythagoras diperlukan untuk menentukan tripel Pythagoras atau pembuktian rumus kuadratis dalam trigonometri.
                Guru harus dapat menjelaskan kaitan-kaitan tersebut pada siswa. Hal ini penting agar siswa dalam belajar matematika lebih berhasil. Dengan melihat kaitan-kaitan itu diharapkan siswa tidak beranggapan bahwa cabang-cabang dalam matematika itu sendiri berdiri sendiri-sendiri tanpa keterkaitan satu sama lainnya.
    Perlu dijelaskan bahwa keempat teorema tersebut di atas tidak dimaksudkan untuk diterapkan satu persatu dengan urutan seperti di atas. Dalam penerapannya, dua teorema atau lebih dapat diterapkan secara bersamaan dalam proses pembelajaran suatu materi matematika tertentu. Hal tersebut bergantung pada karakteristik dari materi atau topik matematika yang dipelajari dan karakteristik dari siswa yang belajar.
    A.    Belajar Penemuan
    Salah satu model instruksional kognitif yang sangat berpengaruh ialah model dari Jerome Bruner (1966) yang dikenal dengan nama belajar penemuan (discovery learning) (dalam Wilis R.,1988;125-126). Bruner menganggap, bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberikan hasil yang paling baik. Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna (yaitu kegiatan belajar dengan pemahaman).  Belajar bermakna merupakan satu-satunya jenis belajar yang mendapat perhatian Bruner.
    Bruner menyarankan agar siswa-siswa hendaknya belajar melalui berpartisipasi secara aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-pninsip, agar mereka dianjurkan untuk memperoleh pengalaman, dan melakukan eksperimen-eksperimen yang mengizinkan mereka untuk menemukan prinsip-prinsip itu sendiri.
    Pengetahuan yang diperoleh dengan belajar penemuan menunjukan beberapa kebaikan. Pertama, pengetahuan itu bertahan lama atau lama dapat diingat,, atau lebih mudah diingat, bila dibandingkan dengan pengetahuan yang dipelajari dengan cara-cara lain. Kedua. hasil belajar penemuan mempunyai efek transfer yang lebih baik daripada hasil belajar lainnya. Dengan kata lain, konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang dijadikan milik kognitif seseorang lebih mudah diterapkan pada situasi-situasi baru. Ketiga, secara menyeluruh belajar penemuan meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berfikir secara bebas. Secara khusus belajar penemuan melatih keterampilan-keterampilan kognitif siswa untuk menemukan dan memecahkan masalah tanpa pertolongan orang lain.
    Selanjutnya dikemukakan, bahwa belajar penemuan membangkitkan keinginan-tahuan siswa, memberi motivasi untuk bekerja terus sampai menemukan jawaban-jawaban. Lagi pula pendekatan ini dapat mengajarkan keterampilan-keterampilan memecahkan masalah tanpa pertolongan orang lain, dan meminta para siswa untuk menganalisis dan memanipulasi informasi, tidak hanya menerima saja.
    Bruner menyadari, bahwa belajar penemuan yang murni memerlukan waktu, karena itu dalam bukunya ‘The Relevance of Education” (1971), Ia menyarankan agar penggunaan belajar penemuan ini hanya diterapkan sampai batas-batas tertentu, yaitu dengan mengarahkannya pada struktur bidang studi.
    Struktur suatu bidang studi terutama diberikan oleh konsep-konsep dasar dan prinsip-prinsip dan bidang studi itu. Bila seorang siswa telah rnenguasai struktur dasar, maka kurang sulit baginya untuk mempelajari bahan-bahan pelajaran lain dalam bidang studi yang sama, dan Ia akan lebih mudah ingat akan bahan baru itu. Hal ini disebabkan karena ia telah memperoleh kerangka pengetahuan yang bermakna, yang dapat digunakannya untuk melihat hubungan-hubungan yang esensial dalam bidang studi itu, dan dengan demikian dapat memahami hal-hal yang mendetail.
    Menurut Bruner, mengerti struktur suatu bidang studi ialah memahami bidang studi itu demikian rupa, hingga dapat menghubungkan hal-hal lain pada struktur itu secara bermakna. Secara singkat dapat dikatakan, bahwa mempelajari struktur adalah mempelajari bagaimana hal-hal dihubungkan.
    B.     Aplikasi Teori Belajar Bruner dalam Pembelajaran Matematika
    Dalam bagian ini akan dibahas bagaimana menerapkan belajar penemuan pada siswa, ditinjau dari segi pendekatan, metoda, tujuan, serta peranan guru (dalam Wilis R.,1988;129-132).
    1.      Pendekatan Spiral dalam Pembelajaran Matematika       
    Disebabkan oleh adanya peningkatan taraf kemampuan berfikir para siswa sesuai dengan perkembangan kedewasaan atau kematangan mereka, Bruner (dalam  Suwarsono,2002;31) menganjurkan digunakannya pendekatan spiral (Spiral approach) dalam pembelajaran matematika. Maksudnya, sesuatu materi matematika tertentu seringkali perlu diajarkan beberapa kali pada siswa yang sama selama kurun waktu siswa tersebut berada di sekolah, tetapi dari saat pembelajaran yang satu ke saat pembelajaran berikutnya terjadi peningkatan dalam tingkat keabstrakan dan kompleksitas dari materi yang dipelajari, termasuk peningkatan dalam keformalan sistem notasi yang digunakan. Sebagai contoh, pada suatu saat siswa SLTP  mempelajari fungsi  yang daerah asal dan daerah kawannya berupa himpunan yang berasal dari kehidupan sehari-hari, dan dengan system notasi yang masih sederhana. Pada suatu saat di kemudian hari, siswa yang sama mempelajari  fungsi untuk kedua kalinya, tetapi dengan melibatkan daerah asal dan daerah kawan yang berupa himpunan bilangan, dengan sistem notasi yang lebih formal. Pada saat berikutnya, pembahasan tentang fungsi bisa  ditingkatkan lagi baik dalam hal kerumitan materi, variasi (kelengkapan) materi, maupun dalam sistem notasi yang digunakan. Peningkatan dalam hal materi pembelajaran dan sistem notasi tersebut diupayakan seiring dengan peningkatan kemampuan dan kematangan siswa dalam berpikir, sesuai dengan perkembangan kedewasaan atau kematangan siswa.
    2.      Metoda dan Tujuan
    Dalam belajar penemuan, metoda dan tujuan tidak sepenuhnya seiring. Tujuan belajar bukan hanya untuk memperoleh pengetahuan saja. Tujuan belajar sebenarnya ialah untuk memperoleh pengetahuan dengan suatu cara yang dapat melatih kemampuan-kemampuan intelektual para siswa, dan merangsang keinginan tahu mereka dan memotivasi kemampuan mereka. Inilah yang dimaksud dengan memperoleh pengetahuan melalui belajar penemuan.
    Jadi, kalau kita mengajarkan sains misalnya, kita bukan akan menghasilkan perpustakaan-perpustakaan hidup kecil tentang sains, melainkan kita ingin membuat anak-anak kita berpikir secara matematis bagi dirinya sendiri, berperan serta dalam proses perolehan pengetahuan. Mengetahui itu adalah suatu proses, bukan suatu produk.
    Apakah implikasi ungkapan Bruner itu? Tujuan-tujuan mengajar hanya dapat diuraikan secara garis besar, dan dapat dicapai dengan càra-cara yang tidak perlu sama oleh para siswa yang mengikuti pelajaran yang sama itu.
    Dengan mengajar seperti yang dimaksud oleh Bruner ini, bagaimana peranan guru dalam proses belajar mengajar? Dalam belajar penemuan siswa mendapat kebebasan sampai batas-batas tertentu untuk menyelidiki, secara perorangan atau dalam suatu tanya jawab dengan guru, atau oleh guru dan/atau siswa-siswa lain, untuk memecahkan masalah yang diberikan oleh guru, atau oleh guru dan siswa-siswa bersama-sama. Dengan demikian jelas, bahwa peranan guru lain sekali bila dibandingkan dengan peranan guru yang mengajar secara klasikal dengan metoda ceramah. Dalam belajar penemuan ini, guru tidak begitu mengendalikan proses belajar mengajar.
    3.      Peranan Guru
    Dalam belajar penemuan, peranan guru dapat dirangkum sebagai berikut :
    a.          Merencanakan pelajaran demikian rupa sehingga pelajaran itu terpusat pada masalah-masalah yang tepat untuk diselidiki oleh para siswa.
    b.         Menyajikan materi pelajaran yang diperlukan sebagai dasar bagi para siswa untuk memecahkan masalah. Sudah seharusnya materi pelajaran itu dapat mengarah pada pemecahan masalah yang aktif dan belajar penemuan, misalnya dengan penggunaan fakta-fakta yang berlawanan. Guru hendaknya mulai dengan sesuatu yang sudah dikenal oleh siswa-siswa. Kemudian guru mengemukakan sesuatu yang berlawanan. Dengan demikian terjadi konflik dengan pengalaman siswa. Akibatnya timbullah masalah. Dalam keadaan yang ideal, hal yang berlawanan itu menimbulkan suatu kesangsian yang merangsang para siswa untuk menyelidiki masalah itu, menyusun hipotesis-hipotesis, dan mencoba menemukan konsep-konsep atau prinsip-prinsip yang mendasari masalah itu.
    c.          Selain hal-hal yang tersebut di atas, guru juga harus memperhatikan tiga cara penyajian yang telah dibahas terdahulu. Cara cara penyajian itu ialah cara enaktif, cara ikonik, dan cara simbolik. Contoh cara-cara penyajian ini telah diberikan dalam uraian terdahulu.
    Untuk menjamin keberhasilan belajar, guru hendaknya jangan menggunakan cara penyajian yang tidak sesuai dengan tingkat kognitif siswa. Disarankan agar guru mengikuti aturan penyajian dari enaktif, ikonik, lalu simbolik. Perkembangan intelektual diasumsikan mengikuti urutan enaktif, ikonik, dan simbolik, jadi demikian pula harapan tentang urutan pengajaran.
    d.      Bila siswa memecahkan masalah di laboratonium atau secara teoretis, guru hendaknya berperan sebagai seorang pembimbing atau tutor. Guru hendaknya jangan mengungkapkan terlebih dahulu prinsip atau aturan yang akan dipelajari, tetapi ia hendaknya rnemberikan saran-saran bilamana diperlukan.
    Sebagai seorang tutor, guru sebaiknya memberikan umpan balik pada waktu yang tepat. Umpan balik sebagai perbaikan hendaknya diberikan dengan cara demikian rupa, hingga siswa tidak tetap tergantung pada pertolongan guru. Akhirnya siswa harus melakukan sendiri fungsi tutor itu.
    e.       Menilai hasil belajar merupakan suatu masalah dalam belajar penemuan. Seperti kita ketahui, tujuan-tujuan tidak dapat dirumuskan secara mendetail, dan tujuan-tujuan itu tidak diminta sama untuk berbagai siswa. Lagi pula tujuan dan proses tidak selalu seiring. Secara garis besar, tujuan belajar penemuan ialah mempelajari generalisasi-generalisasi dengan menemukan sendiri generalisasi-generalisasi itu.
    Di lapangan, pènilaian basil belajar penemuan meliputi pemahaman tentang prinsip-prinsip dasar mengenai suatu bidang studi, dan kemampuan siswa untuk menerapkan prinsip-prinsip itu pada situasi baru. Untuk maksud ini bentuk tes dapat berupa tes objektif atau tes essai.
    4.      Contoh Instruksional Belajar Dengan Metode Penemuan
    Berikut ini akan diberikan contoh instruksional belajar dengan metode penemuan yang dikemukakan oieh Bruner yang bekerja sama dengan Dienes (dalam MKPBM crew, 2001;3.18). Suatu kelas yang terdiri dari siswa-siswa berusia 8 tahun diperkenalkan pada 3 jenis papan kedua atau plat. Papan pertama kita katakan    persegi X, papan berbentuk persegi panjang dengan sisi-sisinya x dan 1 kita sebut “1x” atau “x” saja dan papan yang ketiga merupakan persegi kecil yang sisi-sisinya 1 dengan 1 disebut “l”
    Pertama siswa diminta bermain-main dengan benda tersebut. Papan pertama, papan kedua, dan papan ketiga masing-masing jumlahnya banyak. Setelah itu Bruner bertanya pada siswa “dapatkah kalian membuat persegi yang ukurannya lebih besar dari persegi x dengan merangkai papan-papan jenis pertama, kedua dan ketiga?” Sebagian besar siswa dapat menyusun persegi seperti digambarkan berikut ini.
    Kemudian Bruner meminta mereka menjelaskan apa yang baru saja diperolehnya. Mereka menjawab, “kami memiliki sebuah persegi x dengan dua buah x dan sebuah 1”. Setelah itu Bruner memperkenalkan simbol x untuk melambangkan persegi x dan simbol “+” untuk “dan”. Dengan memakai simbol-simbol tersebut, persegi tersebut dapat dinyatakan dengan ­­ + 2x + I. Cara lain untuk menyatakan persegi di atas adalah sebagai berikut, dengan x dan 1 pada setiap sisinya, sisi tersebut dilambangkan sebagai x + 1 dan persegi yang diperoleh àdalah (x + 1) (x+ 1). Dari dua cara untuk menggambarkan persegi yang sama tersebut di atas diperoleh persamaan berikut:
    Para siswa selanjutnya membuat persegi-persegi dengan menurunkan notasi-notasi yang baru ditulis di atas sebagai berikut.
    Bruner menduga bahwa mereka akan menemukan perbedaan dalam contoh-contoh persegi (1), persegi (2), persegi (3), dan persegi (4). Banyaknya x pada masing-masing persegi tersebut berturut-turut 2, 4, 6, dan 8. Sedangkan bannyaknya persegi 1 pada masing-masing persegi (I), (2), (3), dan (4) berturut-turut 1, 4, 9, dan 16. Bruner yakin setiap kali siswa mengalami kesulitan, mereka akan kembali pada contoh-contoh sebelumnya dan mencoba untuk rnenyelesaikannya.
    Dari contoh instruksional belajar dengan metode penemuan di atas ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu:
    1.      Menemukan sendiri beberapa persegi dengan ukuran   yang berbeda-beda dan menamai persegi yang diperoleh  berdasarkan  ukuran yang diperoleh dari ukuran 3 jenis papan sebagai benda konkret yang dimanipulasi oleh siswa.
    2.      Konsep-konsep yang terkait dengan hal yang ditemukan siswa pada contoh di atas adalah penjumlahan, perkalian, bangun datar dan persegi  panjang.
    3.      Melalui benda konkret yang diberikan ke siswa, konsep yang ditemukan siswa adalah berbagai macam persegi yang lain dari contoh diberikan oleh guru dan menamai persegi yang diberikan itu.
    Teori Belajar Bandura
    Konsep motivasi belajar berkaitan erat dengan prinsip bahwa perilaku yang memperoleh penguatan (reinforcement) di masa lalu lebih memiliki kemungkinan diulang  dibandingkan dengan perilaku yang tidak memperoleh penguatan atau perilaku yang terkena hukuman (punishment). Dalam kenyataannya, daripada membahas konsep motivasi belajar, penganut teori perilaku lebih memfokuskan pada seberapa jauh siswa telah belajar untuk mengerjakan pekerjaan sekolah dalam rangka mendapatkan hasil yang diinginkan (Bandura, 1986 dan Wielkeiwicks, 1995).
    Mengapa sejumlah siswa tetap bertahan dalam menghadapi kegagalan sedang yang lain menyerah? Mengapa ada sejumlah siswa yang bekerja untuk menyenangkan guru, yang lain berupaya mendapatkan nilai yang baik, dan sementara itu ada yang tidak berminat terhadap bahan pelajaran yang seharusnya mereka pelajari? Mengapa ada sejumlah siswa mencapai hasil belajar jauh lebih baik dari yang diperkirakan berdasarkan kemampuan mereka dan sementara itu ada sejumlah siswa mencapai hasil belajar jauh lebih jelek jika dilihat potensi kemampuan mereka? Mengkaji penguatan yang telah diterima dan kapan penguatan itu diperoleh dapat memberikan jawaban atas pertanyaan di atas, namun pada umumnya akan lebih mudah meninjaunya dari sudut motivasi untuk memenuhi berbagai kebutuhan.
    Penghargaan (Reward) dan Penguatan (Reinforcement)
    Suatu alasan mengapa penguatan yang pernah diterima merupakan penjelasan yang tidak memadai untuk motivasi karena motivasi belajar manusia itu sangat kompleks dan tidak bebas dari konteks (situasi yang berhubungan). Terhadap binatang yang sangat lapar kita dapat meramalkan bahwa makanan akan merupakan penguat yang sangat efektif. Terhadap manusia, meskipun ia lapar, kita tidak dapat sepenuhnya yakin apa yang merupakan penguat dan apa yang bukan penguat, karena nilai penguatan dari penguat yang paling potensial sebagian besar ditentukan oleh faktor-faktor pribadi dan situsional.
    Penentuan Nilai dari Suatu Insentif
    Ilustrasi berikut menunjukkan poin penting: nilai motivasi  belajar dari suatu insentif tidak dapat diasumsikan, karena nilai itu dapat bergantung pada banyak faktor (Chance, 1992). Pada saat guru mengatakan “Saya ingin kamu semua mengumpulkan laporan buku pada waktunya karena laporan itu akan diperhitungkan dalam menentukan nilaimu,” guru itu mungkin mengasumsikan bahwa nilai merupakan insentif yang efektif untuk siswa pada umumnya. Tetapi bagaimanapun juga sejumlah siswa dapat tidak menghiraukan nilai karena orang tua mereka tidak menghiraukannya atau mereka memiliki catatan kegagalan di sekolah dan telah mengambil sikap bahwa nilai itu tidak penting. Apabila guru mengatakan kepada seorang siswa, “Pekerjaan yang bagus! Saya tahu kamu dapat  mengerjakan tugas itu apabila kamu mencobanya!” Ucapan ini dapat memotivasi seorang siswa yang baru saja menyelesaikan suatu tugas yang ia anggap sulit namun dapat berarti hukuman (punishment) bagi siswa yang berfikir bahwa tugas itu mudah (karena pujian guru itu memiliki implikasi bahwa ia harus bekerja keras untuk menyelesaikan tugas itu). Seringkali sukar menentukan motivasi belajar siswa dari perilaku mereka karena banyak motivasi yang berbeda dapat mempengaruhi perilaku. Kadang-kadang suatu jenis motivasi jelas-jelas menentukan perilaku, tetapi pada saat yang lain, ada motivasi lain yang berpengaruh (mempengaruhi) terhadap perilaku belajar siswa.
    Kata Kunci: Motivasi belajar, teori pembelajaran perilaku, penguatan, reinforcement, hukuman, punishment, siswa, guru, sekolah, Bandura, hasil belajar, kebutuhan.
    Teori Belajar Bruner
            Manusia dewasa mempunyai lebih dari 100 milyar neuron, yang satu sama lain berhubungan secara spesifik dan rumit sehingga memungkinkan untuk mengingat, melihat, belajar, berpikir, kesadaran dan lain-lain (Schatz 1992). Struktur otak  terbentuk sesuai dengan program yang secara biologis tersimpan dalam DNA, dan  organ tersebut baru bekerja setelah selesainya seluruh penataan yang rumit tersebut.
                Pada saat baru lahir, hampir seluruh neuron yang harus dimiliki sudah ada, tapi berat otaknya hanya ¼ dari otak dewasa. Otak menjadi bertambah besar karena  pembesaran neuron, bertambahnya jumlah akson dan dendrit sesuai dengan perkembangan  hubungan antar sesamanya. Untuk menyempurnakan perkembangan maka anak kecil harus diberi rangsangan melalui raba, speech (berbicara) dan images (daya hayal) (Bloom 1988, Schatz 1992).
                Menurut Bloom (1988) defenisi belajar adalah perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai hasil dari pengalaman. Secara praktis dan diasosiasikan sebagai proses memperoleh informasi . Menurut Kupferman (1981) belajar adalah proses dimana manusia dan binatang menyesuaikan tingkah lakunya sebagai hasil dari pengalaman .
                Memori ingatan adalah proses dimana informasi belajar disimpan dan dapat dibaca kembali (dikeluarkan kembali). Ingatan atau memory tidaklah sesederhana seperti ini. Memory adalah proses aktif, karena ilmu pengetahuan berubah terus, selalu diperiksa dan diformulasi ulang oleh pikiran otak kita. Menurut Jerome Bruner manusia mempunyai kapasitas dan  kecendrungan untuk berubah karena menghadapi kejadian yang umum. Ingatan mempunyai beberapa fase, yaitu waktunya sangat singkat (extremely short term)/ingatan segera (immediate memory) (item hanya dapat disimpan dalam beberapa detik). Ingatan jangka pendek (short term) (items dapat ditahan dalam beberapa menit), ingatan jangka panjang (long term) (penyimpanan berlangsung beberapa jam sampai seumur hidup).
    B.     Bruner dan Teorinya.
    Jerome Bruner dilahirkan dalam tahun 1915. Jerome Bruner, seorang ahli psikologi yang terkenal telah banyak menyumbang dalam penulisan teori pembelajaran, proses pengajaran dan falsafah pendidikan. Bruner bersetuju dengan Piaget bahawa perkembangan kognitif kanak-kanak adalah melalui peringkat-peringkat tertentu. Walau bagaimanapun, Bruner lebih menegaskan pembelajaran secara penemuan iaitu mengolah apa yang diketahui pelajar itu kepada satu corak dalam keadaan baru (lebih kepada prinsip konstruktivisme).
    Beliau bertugas sebagai profesor psikologi di Universiti Harvard di Amerika Syarikat dan dilantik sebagi pengarah di Pusat Pengajaran Kognitif dari tahun 1961 sehingga 1972, dan memainkan peranan penting dalam struktur Projek Madison di Amerika Syarikat.  Setelah itu, beliau menjadi seorang profesor Psikologi di Universiti Oxford di England.
    Jerome S. Bruner adalah seorang ahli psikologi perkembangan dan ahli psikologi belajar kognitif. Pendekatannya tentang psikologi adalah eklektik. Penelitiannya yang demikian banyak itu meliputi persepsi manusia, motivasi, belajar dan berfikir. Dalam mempelajarai manusia, ia menganggap manusia sebagai pemroses, pemikir dan pencipta informasi. Bruner menganggap, bahwa belajar itu meliputi tiga proses kognitif, yaitu memperoleh informasi baru, transformasi pengetahuan, dan menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan. Pandangan terhadap belajar yang disebutnya sebagai konseptualisme instrumental itu, didasarkan pada dua prinsip, yaitu pengetahuan orang tentang alam didasarkan pada model-model mengenai kenyataan yang dibangunnya, dan model-model itu diadaptasikan pada kegunaan bagi orang itu.
    Pematangan intelektual atau pertumbuhan kognitif seseorang ditunjukkan oleh bertambahnya ketidaktergantungan respons dari sifat stimulus. Pertumbuhan itu tergantung pada bagaimana seseorang menginternalisasi peristiwa-peristiwa menjadi suatu ”sistem simpanan” yang sesuai dengan lingkungan. Pertumbuhan itu menyangkut peningkatan kemampuan seseorang untuk mengemukakan pada dirinya sendiri atau pada orang lain tentang apa yang telah atau akan dilakukannya.
    Menurut Bruner belajar bermakna hanya dapat terjadi melalui belajar penemuan. Pengetahuan yang diperoleh melalui belajar penemuan bertahan lama, dan mempunyai efek transfer yang lebih baik. Belajar penemuan meningkatkan penalaran dan kemampuan berfikir secara bebas dan melatih keterampilan-keterampilan kognitif untuk menemukan dan memecahkan masalah.
    Teori instruksi menurut Bruner hendaknya mencakup:
    1.      Pengalaman-pengalaman optimal bagi siswa untuk mau dan dapat belajar, ditinjau dari segi aktivasi, pemeliharaan dan pengarahan.
    2.      Penstrukturan pengetahuan untuk pemahaman optimal, ditinjau dari segi cara penyajian, ekonomi dan kuasa.
    3.      Perincian urutan-urutan penyajian materi pelajran secara optimal, dengan memperhatikan faktor-faktor belajar sebelumnya, tingkat perkembangan anak, sifat materi pelajaran dan perbedaan individu.
    4.      Bentuk dan pemberian reinforsemen.
    Beliau berpendapat bahawa seseorang murid belajar dengan cara menemui struktur konsep-konsep yang dipelajari. Kanak-kanak membentuk konsep dengan mengasingkan benda-benda mengikut ciri-ciri persamaan dan perbezaan. Selain itu, pengajaran didasarkan kepada perangsang murid terhadap konsep itu dengan pengetahuan sedia ada. Misalnya,kanak-kanak membentuk konsep segiempat dengan mengenal segiempat mempunyai 4 sisi dan memasukkan semua bentuk bersisi empat kedalam kategori segiempat,dan memasukkan bentuk-bentuk bersisi tiga kedalam kategori segitiga.
    Dalam teori belajarnya Jerome Bruner berpendapat bahwa kegiatan belajar akan berjalan baik dan kreatif jika siswa dapat menemukan sendiri suatu aturan atau kesimpulan tertentu. Dalam hal ini Bruner membedakan menjadi tiga tahap. Ketiga tahap itu adalah: (1) tahap informasi, yaitu tahap awal untuk memperoleh pengetahuan atau pengalaman baru, (2) tahap transformasi, yaitu tahap memahami, mencerna dan menganalisis pengetahuan baru serta ditransformasikan dalam bentuk baru yang mungkin bermanfaat untuk hal-hal yang lain, dan (3) evaluasi, yaitu untuk mengetahui apakah hasil tranformasi pada tahap kedua tadi benar atau tidak.
    C.     Ciri khas Teori Pembelajaran Menurut Bruner
    1. Empat Tema tentang Pendidikan
    Tema pertama mengemukakan pentingnya arti struktur pengetahuan. Hal ini perlu karena dengan struktur pengetahuan kita menolong siswa untuk untuk melihat, bagaimana fakta-fakta yang kelihatannya tidak ada hubungan, dapat dihubungkan satu dengan yang lain.
    Tema kedua adalah tentang kesiapan untuk belajar. Menurut Bruner kesiapan terdiri atas penguasaan ketrampilan-ketrampilan yang lebih sederhana yang dapat mengizinkan seseorang untuk mencapai kerampilan-ketrampilan yang lebih tinggi.
    Tema ketiga adalah menekankan nilai intuisi dalam proses pendidikan. Dengan intuisi, teknik-teknik intelektual untuk sampai pada formulasi-formulasi tentatif tanpa melalui langkah-langkah analitis untuk mengetahui apakah formulasi-formulasi itu merupaka kesimpulan yang sahih atau tidak.
    Tema keempat adalah tentang motivasi atau keingianan untuk belajar dan cara-cara yang tersedia pada para guru untuk merangsang motivasi itu.
    2. Model dan Kategori
    Pendekatan Bruner terhadap belajar didasarkan pada dua asumsi. Asumsi pertama adalah bahwa perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interaktif. Berlawanan dengan penganut teori perilakau Bruner yakin bahwa orang yang belajar berinteraksi dengan lingkungannya secara aktif, perubahan tidak hanya terjadi di lingkungan tetapi juga dalam diri orang itu sendiri.
    Asumsi kedua adalah bahwa orang mengkontruksi pengetahuannya dengan menghubungkan informasi yang masuk dengan informasi yang disimpan yang diperoleh sebelumnya, suatu model alam (model of the world). Model Bruner ini mendekati sekali struktur kognitif Aussebel. Setiap model seseorang khas bagi dirinya. Dengan menghadapi berbagai aspek dari lingkungan kita, kita akan membentuk suatu struktur atau model yang mengizinkan kita untuk mengelompokkan hal-hal tertentu atau membangun suatu hubungan antara hal-hal yang diketahui.    
    3. Belajar sebagai Proses Kognitif
    Bruner mengemukakan bahwa belajar melibatkan tiga proses yang berlangsung hampir bersamaan. Ketiga proses itu adalah (1) memperoleh informasi baru, (2) transformasi informasi dan (3) menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan (Bruner, 1973).
    Informasi baru dapat merupaka penghalusan dari informasi sebelumnya yang dimiliki seseorang atau informasi itu dapat dersifat sedemikian rupa sehingga berlawanan dengan informasi sebelumnya yang dimiliki seseorang. Dalam transformasi pengetahuan seseorang mempelakukan pengetahuan agar cocok dengan tugas baru. Jadi, transformasi menyangkut cara kita memperlakukan pengetahuan, apakah dengan cara ekstrapolasi atau dengan mengubah bentuk lain.
    Hampir semua orang dewasa melalui penggunaan tig sistem keterampilan untuk menyatakan kemampuanny secara sempurna. Ketiga sistem keterampilan itu adalah yang disebut tiga cara penyajian (modes of presentation) oleh Bruner (1966). Ketiga cara itu ialah: cara enaktif, cara ikonik dan cara simbolik.
    Cara penyajian enaktif ialah melalui tindakan, jadi bersifat manipulatif. Dengan cara ini seseorang mengetahui suatu aspek dari kenyataan tanpa menggunakan pikiran atau kata-kata. Jadi cara ini terdiri atas penyajian kejadian-kejadian yang lampau melalui respon-respon motorik. Misalnya seseorang anak yang enaktif mengetahui bagaimana mengendarai sepeda.
    Cara penyajian ikonik didasarkan atas pikiran internal. Pengetahuan disajikan oleh sekumpulan gambar-gambar yang mewakili suatu konsep, tetapi tidak mendefinisikan sepenuhnya konsep itu. Misalnya sebuah segitiga menyatakan konsep kesegitigaan.
    Penyajian simbolik menggunakan kata-kata atau bahasa. Penyajian simbolik dibuktikan oleh kemampuan seseorang lebih memperhatikan proposisi atau pernyataan daripada objek-objek,  memberikan struktur hirarkis pada konsep-konsep dan memperhatikan kemungkinan-kemungkinan alternatif dalam suatu cara kombinatorial.
    Sebagai contoh dari ketiga cara penyajian ini, tentang pelajaran penggunaan timbangan. Anak kecil hanya dapat bertindak berdasarkan ”prinsip-prinsip” timbangan dan menunjukkan hal itu dengan menaiki papan jungkat-jungkit. Ia tahu bahwa untuk dapat lebih jauh kebawah ia harus duduk lebih menjauhi pusat. Anak yang lebih tua dapat menyajikan timbangan pada dirinya sendiri dengan suatu model atau gambaran. ”Bayangan” timbangan itu dapat diperinci seperti yang terdapat dalam buku pelajaran. Akhirnya suatu timbangan dapat dijelaskan dengan menggunakan bahasa tanpa pertolongan gambar atau dapat juga dijelaskan secara matematik dengan menggunakan Hukum Newton tentang momen.
    4. Ciri khas Teori Bruner dan perbedaannya dengan teori yang lain
    Teori Bruner mempunyai ciri khas daripada teori belajar yang lain yaitu tentang ”discovery” yaitu belajar dengan menemukan konsep sendiri. Disamping itu, karena teori Bruner ini banyak menuntut pengulangan-penulangan, maka desain yang berulang-ulang itu disebut ”kurikulum spiral kurikulum”. Secara singkat, kurikulum spiral menuntut guru untuk memberi materi pelajaran setahap demi setahap dari yang sederhana ke yang kompleks, dimana materi yang sebelumnya sudah diberikan suatu saat muncul kembali secara terintegrasi di dalam suatu materi baru yang lebih kompleks. Demikian seterusnya sehingga siswa telah mempelajari suatu ilmu pengetahuan secara utuh.
    Bruner berpendapat bahwa seseorang murid belajar dengan cara menemui struktur konsep-konsep yang dipelajari. Anak-anak membentuk konsep dengan melihat benda-benda berdasarkan ciri-ciri persamaan dan perbedaan. Selain itu, pembelajaran didasarkan kepada merangsang siswa  menemukan konsep yang baru dengan menghubungkan kepada konsep yang lama melalui pembelajaran penemuan.
    D. Belajar Penemuan       
                 Salah satu model kognitif yang sangat berpengaruh adalah model dari Jerome Bruner (1966) yang dikenal dengan nama belajar penemuan (discovery learning). Bruner menganggap bahwa belajar peneuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia dan dengan sendirinya memberikan hasil yang paling baik. Bruner menyarankan agar siswa hendaknya belajar melalui berpartisipasi aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip agar mereka dianjurkan untuk memperoleh pengalaman dan melakukan eksperimen-eksperimen yang mengizinkan mereka untuk menemukan konsep dan prinsip itu sendiri.
    Pengetahuan yang diperoleh dengan belajar penemuan menunjukkan beberapa kebaikan. Diantaranya adalah:
    1.      Pengetahuan itu bertahan lama atau lama dapat diingat.
    2.      Hasil belajar penemuan mempunyai efek transfer yang lebih baik.
    3.      Secara menyeluruh belajar penemuan meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berfikir secara bebas.
    Asumsi umum tentang teori belajar kognitif: a. Bahwa pembelajaran baru berasal dari proses pembelajaran sebelumnya. b. Belajar melibatkan adanya proses informasi (active learning). c. Pemaknaan berdasarkan hubungan. d. Proses kegiatan belajar mengajar menitikberatkan pada hubungan dan strategi.
    Model kognitif mulai berkembang pada abad terakhir sebagai protes terhadap teori perilaku yang yang telah berkembang sebelumnya. Model  kognitif ini memiliki perspektif bahwa para peserta didik memproses infromasi dan pelajaran melalui upayanya mengorganisir, menyimpan, dan kemudian menemukan  hubungan antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang telah ada. Model ini menekankan pada bagaimana informasi diproses.
    Peneliti yang mengembangkan kognitif ini adalah Ausubel, Bruner, dan Gagne.  Dari ketiga peneliti ini, masing-masing memiliki penekanan yang berbeda.  Ausubel menekankan pada apsek pengelolaan (organizer) yang memiliki pengaruh utama terhadap belajar. Menurut Ausubel, konsep tersebut dimaksudkan untuk penyiapan struktur kognitif peserta didik untuk pengalaman belajar. Bruner bekerja pada pengelompokkan atau penyediaan bentuk konsep sebagai suatu jawaban atas  bagaimana peserta didik  memperoleh informasi dari lingkungan.  Bruner mengembangkan teorinya tentang perkembangan intelektual, yaitu:
    1.      enactive, dimana seorang peserta didik  belajar tentang dunia melalui tindakannya pada objek, siswa melakukan aktifitas-aktifitasnya dalam usahanya memahami lingkungan.
    2.      iconic,  dimana belajar terjadi melalui penggunaan model dan gambar
    3.      symbolic yang mendeskripsikan kapasitas dalam berfikir abstrak, siswa mempunyai gagasan-gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika dan komunikasi dilkukan dengan pertolongan sistem simbol. Semakin dewasa sistem simbol ini samakin dominan.
    Sejalan dengan pernyataan di atas, maka untuk mengajar sesuatu tidak usah ditunggu sampai anak mancapai tahap perkembangan tertentu. Yang penting bahan pelajaran harus ditata dengan baik maka dapat diberikan padanya. Dengan lain perkataan perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan jalan mengatur bahan yang akan dipelajari dan menyajikannya sesuai dengan tingkat perkembangannya.
    Penerapan teori Bruner yang terkenal dalam dunia pendidikan adalah kurikulum spiral dimana materi pelajaran yang sama dapat diberikan mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan tinggi disesuaikan dengan tingkap perkembangan kognitif mereka. Cara belajar yang terbaik menurut Bruner ini adalah dengan memahami konsep, arti dan hubungan melalui proses intuitif kemudian dapat dihasilkan suatu kesimpulan (discovery learning).
    Berdasarkan pendapat ketiga ahli di atas (Burner, Ausubel, dan gagne), ternyata teori kognitif melibatkan hal-hal mental atau pemikiran seseorang individu. Teori ini ada kaitan dengan ingatan jangka pendek dan ingatan jangka panjang. Sesuatu pengetahuan yang diperolehi melalui pengalaman atau pendidikan formal akan disimpan dan disusun   melalui proses pengumpulan pengetahuan supaya dapat digunakan kemudian. 
    Penerapan Model  Kognitif dalam pembelajaran:
    Belajar
    Karakteristik Teori
    Penerapan Dalam pembelajaran
    Kognitif Bruner
    Model ini sangat membebaskan peserta didik untuk belajar sendiri. Teori ini mengarahkan peserta didik untuk belajar secara discovery learning.
    1.   Menentukan tujuan-tujuan instruksional
    2.   Memilih materi pelajaran
    3.   Menentukan topik-topik yang akan dipeserta didiki
    4.   Mencari contoh-contoh, tugas, ilustrasi dsbnya., yang dapat digunakan peserta didik untuk bahan belajar
    5.   Mengatur topik peserta didik  dari konsep yang paling kongkrit ke yang abstrak, dari yang sederhana ke kompleks
    6.   Mengevaluasi proses dan hasil belajar
    Bermakna Ausubel
    Dalam aplikasinya menuntut peserta didik belajar secara deduktif (dari umum ke khusus) dan lebih mementingkan aspek struktur kognitif peserta didik
    1.   Menentukan tujuan-tujuan instruksional
    2.   Mengukur kesiapan peserta didik (minat, kemampuan, struktur kognitif)baik melalui tes awal, interviw, pertanyaan dll.
    3.   Memilih materi pelajaran dan mengaturnya dalam bentuk penyajian konsep-konsep kunci
    4.   Mengidentifikasikan prinsip-prinsip yang harus dikuasai peserta didik dari materi tsb.
    5.   Menyajikan suatu pandangan secara menyelurh tentang apa yang harus dikuasai pesertadidik
    6.   Membuat dan menggunakan “advanced organizer” paling tidak dengan cara membuat rangkuman terhadap materi yang baru disajikan, dilengkapi dengan uraian singkat yang menunjukkan relevansi (keterkaiatan) materi yang sudah diberikan dengan yang akan diberikan
    7.   Mengajar peserta didik untuk memahami konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang sudah ditentukan dengan memberi fokus pada hubungan yang terjalin antara konsep yang ada
    8.   Mengevaluasi proses dan hasil belajar
    D.    Penerapan dalam Pembelajaran IPA
    Pada bagian ini akan dibahas bagaimana menerapkan belajar penemuan pada siswa, ditinjau dari segi metode, tujuan serta peranan guru khususnya dalam pembelajaran IPA.
    1.      Metode dan Tujuan
    Dalam belajar penemuan, metode dan tujuan tidak sepenuhnya beriring. Tujuan belajar bukan hanya untuk memperoleh pengetahuan saja. Tujuan belajar sepenuhnya ialah untuk memperoleh pengetahuan dengan suatu cara yang dapat melatih kemampuan intelektual siswa dan merangsang keingintahuan mereka dan memotivasi kemampuan mereka. Inilah yang dimaksud dengan memperoleh pengetahuan melalui belajar penemuan.
    Jadi kalau kita mengajar sains (IPA) misalnya, kita bukan akan menghasilkan perpustakaan-perpustakaan hidup kecil tentang sains, melainkan kita ingin membuat anak-anak kita berfikir secara matematis bagi dirinya sendiri, berperan serta dalam proses perolehan pengetahuan. Mengetahui itu adalah suatu proses, bukan suatu produk.
    2.      Peranan Guru 
    Langkah guru sebagai fasilitator pembelajaran dalam belajar penemuan adalah:
    a.       Merencanakan pelajaran sedemikian rupa sehingga pelajaran itu terpusat pada masalah-masalah yang tepat untuk diselidiki para siswa.
    b.      Menyajikan materi pelajaran yang diperlukan sebagai dasar bagi para siswa untuk memecahkan masalah. Guru hendaknya memulai dengan sesuatu yang sudah dikenal siswa. Kemudian guru mengemukakan sesuatau yang berlawanan. Dengan demikian terjadi onflik dengn pengalaman siswa. Akibatnya timbulah masalah. Dalam keadaan yang ideal, hal yang berlawanan itu menimbulkan suatu kesangsian yang merangsang para siswa untuk menyelidiki masalah itu, menyusun hipotesis-hipotesis dan mencoba menemukan konsep atau prinsip yang mendasari masalah itu.
    c.       Guru harus menyajikan dengan cara enaktif, ikonik dan simbolik. Enaktif adalah melaui tindakan atau dengan kata lain belajar sambil melakukan (learning by doing). Ikonik adalah didasarkan atas pikiran internal. Pengetahuan disajikan melalui gambar-gambar yang mewakili suatu konsep. Simbolik adalah menggunakan kata-kata atau bahasa-bahasa.
    d.      Bila siswa memecahkan masalah di laboratorium atau secara teoritis, guru hendaknya berperan sebagai seorang pembimbing atau tutor. Guru hendaknya jangan mengungkapkan terlebih dahulu prinsip atau aturan yang akan dipelajari, tetapi hendaknya memberikan saran-saran bila diperlukan. Sebagai seorang tutor, guru hendaknya memberikan umpan balik pada waktu yang tepat.
    e.       Menilai hasil belajar merupakan suatu masalah dalam belajar penemuan. Secara garis besar belajar penemuan ialah mempelajarai generalisasi-generalisasi dengan menemukan sendiri konsep-konsep itu. Di lapangan, penilaian hasil belajar penemuan meliputi pemahaman tentang konsep dasar, dan kemampuan untuk menerapkan konsep itu ke dalam situsi baru dan situasi kehidupan nyata sehari-hari pada siswa.
    Jadi dalam belajar penemuan, guru tidak begitu mengendalikan proses pembelajaran. Guru hendaknya mengarahkan pelajaran pada penemuan dan pemecahan masalah. Penilaian hasil belajar meliputi tentang konsep dasar dan penerapannya pada situasi yang baru.
    Daftar Pustaka
    Max Darsono, Prof. 2000. Belajar dan Pembelajaran. Semarang: IKIP Semarang Press.
    Slameto. 1991. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi. Jakarta: Rineka  Cipta. 
                Ratna Wilis Dahar, Prof. 1996. Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga
    Teori Belajar Piaget
    Jean Piaget lahir pada tanggal 9 Agustus 1898 di Neuchatel, Swiss. Ayahnya adalah seorang ahli sejarah dengan spesialisasi abad pertengahan. Ibunya adalah seorang yang dinamis, inteligens, dan taqwa. Sewaktu mudahnya, ia tertarik pada alam dan senang mengamati burung-burung, ikan, dan binatang lainnya di alam bebas, sehingga akhirnya tertarik pada pelajaran biologi di sekolah. Sejak umur 10 tahun ia telah menerbitkan karangan pertamanya tentang burung “Pipit Albino” pada majalah ilmu pengetahuan alam. Pada umur 15 tahun ia menolak tawaran sebagai curator koleksi moluska di museum Ipa di Geneva, karena ingin menyelesaikan sekolah menengahnya.
                Pada tahun 1916, Piaget menyelesaikan pendidikan sarjana bidang biologi di Universitas Neuchatel. Pada usia 21 tahun ia telah menyelesaikan disertasi tentang moluska dan memperoleh gelar doctor filsafat. Setelah menyelesaikan pendidikan formal, Piaget memutuskan untuk mendalami psikologi di Zurich. Pada tahun 1919, ia meninggalkan Zurich dan pergi ke Paris. Selama dua tahun, ia tinggal di Universitas Sorbonne, belajar psikologi klinis,logika, serta epistemology. Pendalamnya tentang filsafat meyakinkannya bahwa perlunya pemikiran spekulasi murni dilengkapi dengan pendekatan ilmu pengetahuan yang faktual.
                Pada tahun 1920, Piaget bekerja bersama Dr. Theophile Simon di laboratorium Binet di Paris dengan tugas mengembangkan tes penalaran yang kemudian diujikan. Dari hasil uji yang diperolehnya, ia menyimpulkan bahwa perbedaan jawaban yang ada disebabkan oleh perbedaan intelegensi peserta. Berdasarkan pengalaman membuat tes tersebut, Piaget mendapatkan tiga pemikiran penting yang mempengaruhi berpikirnya dikemudian hari. Pertama, Piaget melihat bahwa anak yang berbeda umurnya menggunakan cara berpikir yang bebeda. Inilah yang mempengaruhi pandangan Piaget mengenai tahap-tahap perkembangan kognitif anak. Kedua, metode klinik digunakannya untuk mengorek pemikiran anak secara lebih mendalam. Metode inilah yang dikembangkan Piaget dalam studinya tentang perkembangan kognitif anak. Ketiga, Piaget berpikir bahwa pemikiran logika abstrak mungkin relevan untuk mememahami pemikiran anak. Menurutnya, operasi-operasi logika yang ada dalam pemikiran deduksi berkaitan dengan struktur mental tertentu dalam diri anak. Ia mencoba untuk menemukan bagaimana pemikiran sangat berkaitan dengan logika. Ciri pemikiran  deduksi logis (abstrak dan hipotesis) ini menjadi salah satu ukuran tertinggi Piaget dalam menentukan tahap-tahap perkembangan kognitif anak.
                Pada tahun 1921, Piaget diangkat sebagai direktur penelitian di Institut Jean-Jacques Rousseu di Geneva. Di situ ia memperole kesempatan untuk mempelajari pemikiran anak. Hasil penelitiannya banyak dipublikasikan pada tahun 1923-1931.
                Selama penelitian, Piaget semakin yakin akan adanya perbedaan antara proses pemikiran anak dengan orang dewasa. Ia yakin bahwa anak bukan merupakan suatu tiruan (replika) dari orang dewasa. Anak buka hanya berpikir kurang efisien dari orang dewasa, melainkan berpikir secara berbeda dengan orang dewasa. Itulah sebabnya mengapa Piaget yakin bahwa ada tahap perkembangan kognitif yang berbeda dari anak sampai menjadi dewasa. Piaget juga mencoba menemukan sebab-musabab perkembangan kognitif.
                Pada tahun 1920-1930, Piaget meneruskan penelitiannya dalam bidang perkembangan kognitif anak. Bersama dengan istrinya, ia meneliti ketiga anaknya sendiri yang lahir pada tahun 1925, 1927, dan 1931. Hasil pengamatan terhadap anak-anaknya ini dipublikasikan dalam The Original of Intelligence in Children dan the Consruction of Reality tentang tahap sensorimotor. Studinya tentang masa kanak-kanak meykinkan Piaget bahwa pengertian dibentuk dari tindakan anak dan bukan dari bahasa anak.
                Pada tahun 1940-an, Piaget tertarik untuk meneliti persepsi psikologi Gestalt. Ia memperluas pengertian persepsi tidak hanya sebagai suatu proses tersendiri, tetapi juga berhubungan dengan inteligensi. Sejak tahun 1943, Piaget dengan teman-temannya menerbitkan banyak buku dan laporan tentang persepsi. Puncaknya adalah buku The Mechanism of Perception pada tahun 1961. buku ini menjelaskan tentang struktur, proses, serta relasi antara pesepsi dengan inteligensi seseorang. Atas anjuran Einstein, pada tahun 1940 Piaget meneliti tentang pengertian anak tentang waktu, kecepatan, dan gerak. Sebagai hasil penelitian tersebut, ia mempublikasikan dua buku, The Child’s Conception of Time dan The Child’s of Movement and Speed.
                Sesudah perang dunia kedua, penghargaan akan karya Piaget mulai tersebar ke seluruh dunia. Ia menerima gelar kehormatan dari banyak Universitas, seperti Universitas Harvard di Cambridge, Universitas Sorbonne di Paris, dan beberapa Universitas di Belgia dan Brasilia.
                Pada tahun 1950, Piaget banyak meneliti dan menulis tentang perkembangan inteligensi manusia. Ia juga mangaplikasikan hasil penemuan psikologis tersebut dalam persoalan epistemology. Ditahun yang sama, ia mempublikasikan seri epistemology genetic. Buku ini merupakan sintesis pemikirannya akan beberapa aspek pengetahuan, termasuk matematika, fisika, psikologi, sosiologi, biologi, dan logika. Di antara tahun 1950-1960 , Piagat banyak mempublikasikan bukunya terutama berisi tentang perkembngan kognitif. Hingga pada tahun 1969, Piaget menerbitkan “The Psychology of the Child” yang diperuntukkan bagi kalangan umum yang ingin mengetahui pemikirannya. Ini adalah semacam ringkasan teori Piaget tentang perkembangan intelektual dan persepsi. Pada tahun yang sama, ia juga menerbitkan “Mental Imaginary in the Child”. Buku ini menjelaskan perkembangan gambaran mental dan hubungannya dengan perkembangan inteligensi. Pada tahun 1967, ia mempublikasikan “Biology and Knowledge”,sebuah buku yang berkaitan dengan hubungan antara faktor biologi dengan proses kognitif.
                Piaget pensiun dari Institut Rousseau pada tahun 1971. meskipun demikian, ia tetap aktif menulis dan menerbitkan banyak buku. Piaget meninggal pada tanggal 16 September 1980 di Geneva.
    Piaget mengembangkan teori perkembangan kognitif yang cukup dominan selama beberapa dekade. Dalam teorinya Piaget membahas pandangannya tentang bagaimana anak belajar. Menurut Jean Piaget, dasar dari belajar adalah aktivitas anak bila ia berinteraksi dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisiknya. Pertumbuhan anak merupakan suatu proses sosial. Anak tidak berinteraksi dengan lingkungan fisiknya sebagai suatu individu terikat, tetapi sebagai bagian dari kelompok sosial. Akibatnya lingkungan sosialnya berada diantara anak dengan lingkungan fisiknya. Interaksi anak dengan orang lain memainkan peranan penting dalam mengembangkan pandangannya terhadap alam. Melalui pertukaran ide-ide dengan orang lain, seorang anak yang tadinya memiliki pandangan subyektif terhadap sesuatu yang diamatinya akan berubah pandangannya menjadi obyektif. Aktivitas mental anak terorganisasi dalam suatu struktur kegiatan mental yang disebut ”skema” atau pola tingkah laku.
    Dalam perkembangan intelektual ada tiga hal penting yang menjadi perhatian Piaget yaitu struktur, isi dan fungsi (Piaget , 1988: 61 ; Turner, 1984: 8).
    a.      Struktur, Piaget memandang ada hubungan fungsional antara tindakan fisik, tindakan mental dan perkembangan logis anak-anak. Tindakan (action) menuju pada operasi-operasi dan operasi-operasi menuju pada perkembangan struktur-struktur.
    b.      Isi, merupakan pola perilaku anak yang khas yang tercermin pada respon yang diberikannya terhadap berbagai masalah atau situasi yang dihadapinya.
    c.      Fungsi, adalah cara yang digunakan organisme untuk membuat kemajuan intelektual. Menurut Piaget perkembangan intelektual didasarkan pada dua fungsi yaitu organisasi dan adaptasi.
    1)     Organisasi memberikan pada organisme kemampuan untuk mengestimasikan atau mengorganisasi proses-proses fisik atau psikologis menjadi sistem-sistem yang teratur dan berhubungan.
    2)     Adaptasi, terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi.
    Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian skemata melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru pengertian orang itu berkembang.
    Akomodasi. Dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai. Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi tejadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Bagi Piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi terhadap lingkungannya maka terjadilah ketidakseimbangan (disequilibrium). Akibat ketidakseimbangan itu maka terjadilah akomodasi dan struktur kognitif yang ada akan mengalami perubahan atau munculnya struktur yang baru. Pertumbuhan intelektual ini merupakan proses terus menerus tentang keadaan ketidakseimbangan dan keadaan setimbang (disequilibrium-equilibrium). Tetapi bila terjadi kesetimbangan maka individu akan berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada sebelumnya.

    Teori Belajar Gestalt

    BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk (ciptaan) Tuhan, hakikat wujudnya bahwa manusia adalah mahkluk yang perkembangannya dipengaruhi oleh pembawaan dan lingkungan. Dalam teori pendidikan yang dikembangkan didunia barat, dikatakan bahwa perkembangannya seseorang hanya dipengaruhi oleh pembawaan (nativisme) sehingga dalam proses belajar dan mengajar siswa tersebut Aktif, sebagai lawannya berkembang pula teori yang mengajarkan bahwa perkembangan seseorang hanya ditentukan oleh lingkungannya (empirisme) sehingga dalam proses belajar dan mengajar siswa tersebut Pasif, sebagai sintesisnya dikembangkan teori ketiga yang mengatakan bahwa perkembangan seseorang ditentukan oleh pembawaan dan lingkungannya (konvergensi) sehingga dalam proses belajar dan mengajar siswa tersebut Aktif dan Pasif Pembelajaran menurut aliran kognitif menitik beratkan belajar aktif, belajar lewat interaksi social, belajar lewat pengalaman pribadi ini di kemukakan oleh jean piaget. Aliran kognitif berjalan dengan baik dan sekarang ini diterapkan seperti pada kurikulum berbasis tuan pendidikan yang mana didalamnya mempunyai aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Jadi siswa di tuntut untuk aktif di dalam kelas ini merujuk pada pembelajaran menurut aliran kognitif yang menjadikan siswa dapt aktif di dalam proses pembelajaran karena di dalam pembelajarannya guru hanya sebagai fasilitator, sedangkan siswa di sini tidak menjadi objek pembelajaran akan tetapi siswa sebagai subjek dari pembelajaran Pembahasan ini sangat penting karena mengingat proses belajar yang terjadi didalam kelas berlangsung dalam proses komunikasi yang berisi pesan-pesan yang berkaitan dengan fakta, konsep, prinsip dan keterampilan yang sering digunakan dalam sehari-hari. Proses pembelajaran dituntut untuk secara aktif berpartisipasi. Keaktifan berpartisipasi ini memberikan kesempatan yang luas mengembangkan potensi, bakat yang dimiliki oleh masing-masing siswa. B. Rumusan Masalah Teori kognitif mulai berkembang dengan lahirnya teori belajar gestalt. Yang condong pada belajar secara keseluruhan, tidak hanya secara intelektual, tetapi juga secara fisik, emosional, sosial dan sebagainya. Sehingga dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Apa Definisi tokoh Gestalt ? 2. Bagaimana Sejarah Munculnya Teori Gestalt berdasarkan Eksperimen tokoh Gestalt terhadap Simpanse? 3. Bagaimana Belajar dalam pandangan teori Gestalt? 4. Apa Pokok-pokok Teori Belajar Gestalt ? 5. Bagaimana Aplikasi teori Gestalt dalam proses pembelajaran? C. Tujuan Masalah Dalam pembuatan Makalah ini, yang membahas tentang teori belajar Gestalt secara global agar pembaca dapat mengetahui serta memahami tentang teori belajar Gestalt. Sedangkan yang menjadi tujuan utama dalam Makalah ini adalah: 1. Agar pembaca mengetahui dan memahami Definisi tokoh Gestalt 2. Agar pembaca mengetahui Sejarah Munculnya Teori Gestalt berdasarkan Eksperimen tokoh Gestalt terhadap Simpanse 3. Agar pembaca mengetahui dan memahami Belajar dalam pandangan teori Gestalt 4. Agar pembaca mengetahui dan memahami Pokok-pokok Teori Belajar Gestalt 5. Agar pembaca mengetahui dan memahami Aplikasi teori Gestalt terhadap proses pembelajaran BAB II Pembahasan A. Definisi serta Sejarah Munculnya Teori Gestalt Teori kognitif mulai berkembang dengan lahirnya teori belajar gestalt. Peletak dasar teori gestalt adalah Merx Wertheimer (1880-1943) yang meneliti tentang pengamatan dan problem solving. Sumbangannya diikuti oleh Kurt Koffka (1886-1941) yang menguraikan secara terperinci tentang hukum-hukum pengamatan, kemudian Wolfgang Kohler (1887-1959) yang meneliti tentang insight pada simpase. Kaum gestaltis berpendapat bahwa pengalaman itu berstuktur yang terbentuk dalam suatu keseluruhan. Menurut pandangan gestaltis, semua kegiatan belajar menggunakan pemahaman terhadap hubungan hubungan, terutama hubungan antara bagian dan keseluruhan. Intinya, menurut mereka, tingkat kejelasan dan keberartian dari apa yang diamati dalam situasi belajar adalah lebih meningkatkan kemampuan belajar seseorang dari pada dengan hukuman dan ganjaran. Teori Belajar Gestalt meneliti tentang pengamatan dan problem solving, dari pengamatanya ia menyesalkan penggunaan metode menghafal di sekolah, dan menghendaki agar murid belajar dengan pengertian bukan hafalan akademis. Suatu konsep yang penting dalam psikologis Gestalt adalah tentang insight yaitu pengamatan dan pemahaman mendadak terhadap hubungan-hubungan antar bagian-bagian dalam suatu situasi permasalahan. Dalam pelaksanaan pembelajaran dengan teori Gestalt, guru tidak memberikan potongan-potongan atau bagian-bagian bahan ajaran, tetapi selalu satu kesatuan yang utuh. Pengamatan adalah pintu pengembangan kognitif. Beberapa hukum gestalt dalam pengamatan adalah : 1) Hukum Pragnanz, yang mengatakan bahwa organisasi psikologis selalu cenderung ke arah yang bermakna atau penuh arti (pragnanz) 2) Hukum kesamaan, yang mengatakan bahwa hal-hal yang sama cenderung membentuk gestalt (keseluruhan) 3) Hukum kecenderungan mengatakan bahwa hal hal yang berdekatan cenderung berbentuk gestalt. 4) Hukum ketertutupan, yang mengatakan bahwa hal-hal yang tertutup cenderung membentuk gestalt. 5) Hukum kontinuitas yang mengatakan bahwa hal-hal yang berkesinambungan cenderung membentuk gestalt. B. Eksperimen tokoh Gestalt terhadap Simpanse Wolfgang Kohler menjelaskan teori gestalt ini melalui percobaan dengan seekor Simpense yang diberi nama Sulton. Dalam eksperimenmnya, kohler ingin mengetahui bagaimana fungsi insight dapat membantu memecahkan masalah dan membuktikan bahwa perilaku simpanse dalam memecahkan masalah yang dihadapinya tidak dengan Stimulus dan respon atau trial and error saja, tapi juga karena ada pemahaman terhadap masalah dan bagaimana memecahkan masalah tersebut. Merikut eksperimen yang dilakukan oleh kohler terhadap Simpanse : Ekesperimen I Simpanse dimasukkan dalam sangkar atau ruangan dan didalam sangkar tersebut terdapat sebatang tongkat. Diluar sangkar diletakkan sebuah pisang. Problem yang dihadapi oleh simpanse adalah bagaimana simpanse dapat mengambil pisang untuk dimakan. Pada awalnya simpanse berusaha mengambil pisang tersebut, tetapi selalu gagal karena tangannya tidak sampai untuk mengambil pisang tersebut. Kemudian simpanse melihat sebatang tongkat dan timbulah pengrtian untuk meraih pisang dengan menggunakan tongkat tersebut. Begitu juga ketika ada dua tongkat, karena tidak dapat dirahnya pisang tersebut dengan tongkat satu. Tiba-tina muncul insight dalam diri simpanse dan menyambung dan akhirnya berhasil Eksperimen II Problem yang dihadapi sekarang diubah, yakni pisang digantung diatas sangkar sehingga simpanse tidak dapat meraih pisang tersebut. Disudut sangkar tersebut diletakkan subuah kotak yang kuat untuk dinaiki simpanse. Pada awalnya simpanse mau mengambil pisang, akan tetapi berkali-kali gagal, ketika simpanse melihat Kotak disudut sangkar, munculah insight simpanse untuk bergegas mengambil kotak dan dinaikinya dan akhirnya ia dapat mengambil pisang. Begitu juga ketika dalam sangkar terdapat dua kotak kuat, dan ketika simpanse tidak bisa mengambil dengan satu kotak, maka simpanse mengambil kotak tersebut untuk ditumpuk kemudian dinaiki dan akhirnya simpanse dapat mengambil pisang tersebut Dari Eksperimen-eksperimen tersebut, kohler menjelaskan bahwa simpanse yang dipakai untuk percobaan harus dapat membentuk persepsi tentang situasi total dan saling menghubungkan antara semua hal yang relevan dengan Problem yang dihadapinya sebelum muncul insight. Dari percobaan tersebut menunjukkan simpanse dapat memecahkan insightnya, dan ia akan mentransfer insight tersebut untuk memecahkan problem lain yang dihadapinya Gestalt berasumsi, bila seseorang atu suatu organisasi dihadapkan pada suatu problem, tetapi kedudukan kognitif tidak seimbang sampai problem itu dipecahkan. Menurut gestalt problem tersebut merupakan stimulus sampai didapat suatu pemecahannya. Organisme atau individu akan selalu berfikir tentang suatu bahan agar dapat memecahkan masalah yang dihadapinya sebagai bentuk respon atas masalah tersebut. C. Belajar dalam pandangan teori Gestalt Belajar pada hakikatnya adalah melakukan perubahan struktur kognitif. Selain pengamatan, kaum gestalt menekankan bahwa belajar pemahaman merupakan bentuk utama aliran ini. Kondisi pemahaman tergantung pada : a) Kemampuan dasar seseorang b) Pengalaman masa lampau yang relevan c) Pengaturan situasi yang dihadapi d) Pemahaman didahului oleh periode mencari atau coba-coba e) Adanya pemahaman dalam diri individu menyebabkan pemecahan masalah dapat diulang dengan mudah. f) Adanya pemahaman dalam diri individu dapat dipakai menghadapi situasi lain atau transfer dalam belajar. Menurut teori Gestalt perbuatan belajar itu tidak berlangsung seketika, tetapi berlangsung berproses kepada hal-hal yang esensial, sehingga aktivitas belajar itu akan menimbulkan makna yang berarti. Sebab itu dalam proses belajar, makin lama akan timbul suatu pemahaman yang mendalam terhadap materi pelajaran yang dipelajari, manakala perhatian makin ditujukan kepada objek yang dipelajari itu telah mengerti dan dapat apa yang dicari. Penerapan teori gestalt tampak pada kurikulum yang sekarang ini digunakan didunia pendidikan. Kurikulum mempunyai pusat yang sama. Dalam tingkat rendah, disusun kurikulum dari suatu kesatuan yang utuh. Hal pokok diajarkan secara garis besar. Ditingkat yang lebih lanjut, kesatuan itu diberikan lagi dengan muatan-muatan yang lebih detail yang mengarah kebagian-bagian yang telah diberikan ditigkat dasar. Begitu secara berkelanjutan disetiap jenjangnya. D. Pokok-pokok Teori Belajar Gestalt. Psikologi Gestalt bermula pada lapangan pengamatan ( persepsi ) dan mencapai sukses yang terbesar juga dalam lapangan ini. Demonstrasinya mengenai peranan latar belakang dan organisasinya terhadap proses-proses yang diamati secara fenomenal demikian meyakinkan sehingga boleh dikatakan tidak dapat di bantah. Ketika para ahli Psikologi Gestalt beralih dari masalah pengamatan ke masalah belajar, maka hasil-hasil yang telah kuat / sukses dalam penelitian mengenai pengamatan itu dibawanya dalam studi mengenai belajar . Karena asumsi bahwa hukum –hukum atau prinsip-prinsip yang berlaku pada proses pengamatan dapat ditransfer kepada hal belajar, maka untuk memahami proses belajar orang perlu memahami hukum-hukum yang menguasai proses pengamatan itu. Pada pengamatan itu menekankan perhatian pada bentuk yang terorganisasi (organized form) dan pola persepsi manusia . Pemahaman dan persepsi tentang hubungan-hubungan dalam kebulatan (entities) adalah sangat esensial dalam belajar. Psikologi Gestalt ini terkenal juga sebagai teori medan (field) atau lazim disebut cognitive field theory. Kelompok pemikiran ini sependapat pada suatu hal yakni suatu prinsip dasar bahwa pengalaman manusia memiliki kekayaan medan yang memuat fenomena keseluruhan lebih dari pada bagian-bagiannya. Keseluruhan ini memberikan beberapa prinsip belajar yang penting, antara lain : 1. Manusia bereaksi dengan lingkunganya secara keseluruhan, tidak hanya secara intelektual, tetapi juga secara fisik, emosional,sosial dan sebagainya 2. Belajar adalah penyesuaian diri dengan lingkungan. 3. Manusia berkembang sebagai keseluruhan sejak dari kecil sampai dewasa, lengkap dengan segala aspek-aspeknya. 4. Belajar adalah perkembangan kearah diferensiasi yang lebih luas. 5. Belajar hanya berhasil, apabila tercapai kematangan untuk memperoleh insight. 6. Tidak mungkin ada belajar tanpa ada kemauan untuk belajar, motivasi membei dorongan yang mengerakan seluruh organisme. 7. Belajar akan berhasil kalau ada tujuan. 8. Belajar merupakan suatu proses bila seseorang itu aktif, bukan ibarat suatu bejana yang diisi. Belajar sangat menguntungkan untuk kegiatan memecahakan masalah. Hal ini nampaknya juga relevan dengan konsep teori belajar yang diawali dengan suatu pengamatan. Belajar memecahkan masalah diperlukan suatu pengamatan secara cermat dan lengkap. Kemudian bagaiman seseorang itu dapat memecahknan masalah mrnurut J. Dewey ada 5 upaya pemecahannya yakni: 1. Realisasi adanya masalah. Jadi harus memahami apa masalahnya dan juga harus dapat merumuskan 2. Mengajukan hipotesa, sebagai suatu jalan yang mungkin memberi arah pemecahan masalah. 3. Mengumpulkan data atau informasi, dengan bacaan atau sumber-sumber lain. 4. Menilai dan mencobakan usah pembuktian hipotesa dengan keterangan-keterangan yang diperoleh. 5. Mengambil kesimpulan, membuat laporan atau membuat sesuatu dengan hasil pemecahan soal itu. E. Aplikasi teori Gestalt dalam proses pembelajaran Dalam teori Belajar Gestalt, Belajar pada hakikatnya adalah melakukan perubahan struktur kognitif. Selain pengamatan, kaum gestalt menekankan bahwa belajar pemahaman merupakan bentuk utama aliran ini. Maka dalam Proses pembelajaran dikelas harus diterapkan sesuai dengan Konsep teori Gestal tersebut. Aplikasi teori Gestalt dalam proses pembelajaran antara lain : 1. Pengalaman tilikan (insight); bahwa tilikan memegang peranan yang penting dalam perilaku. Dalam proses pembelajaran, hendaknya peserta didik memiliki kemampuan tilikan yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu obyek atau peristiwa. 2. Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning); kebermaknaan unsur-unsur yang terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu unsur akan makin efektif sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam kegiatan pemecahan masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan pengembangan alternatif pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki makna yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya. 3. Perilaku bertujuan (pusposive behavior); bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan sebagai arah aktivitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami tujuannya. 4. Prinsip ruang hidup (life space); bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan dengan lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan peserta didik. 5. Transfer dalam Belajar; yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran tertentu ke situasi lain. Menurut pandangan Gestalt, transfer belajar terjadi dengan jalan melepaskan pengertian obyek dari suatu konfigurasi dalam situasi tertentu untuk kemudian menempatkan dalam situasi konfigurasi lain dalam tata-susunan yang tepat. Judd menekankan pentingnya penangkapan prinsip-prinsip pokok yang luas dalam pembelajaran dan kemudian menyusun ketentuan-ketentuan umum (generalisasi). Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan dalam memecahkan masalah dalam situasi lain. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat membantu peserta didik untuk menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi yang diajarkannya. Teori belajar gestalt secara umum sangat berpengaruh dalam metode membaca dan menulis. Metode yang resmi digunakan dengan mengacu teori yang dikenal dengan istilah SAS (Struktural, Analitis dan Sintesis). Metode ini dirintis oleh Dr. Ovide De Croly. Proses mengajarnya adalah sebagai berikut : 1. Pada permulaan sekali. Peserta didik dihadapkan pada cerita pendek yang telah dikenal dalam kehidupan keluarga. Cerita ini jelas merupakan satu kesatuan yang telah dikenal oleh peserta didik. Karena itu mudah untuk membacanya secara keseluruhan dengan menghafal, biarkan murid membaca sambil menunjuk kalimat yang tidak cocok dengan yang diucapkannya. 2. Menguraikan cerita pendek tersebut menjadi kalimat-kalimat. Guru secara alamiah menunjukkkan bahwa cerita pendek itu terdiri dari kalimat-kalimat. Antar kalimat deberi warna yang berbeda, dan antar kalimat diberi jarak yang cukup rengggang 3. Memisahkan kalimat-kalimat menjadi kata-kata. Tiap kata ditulis dengan warna yang berbeda, terpisah dan ditulis agak jauhan. Susunan tiap kata ditulis semakin menurun dan dibaca pelan-pelan sambil menunjuk tiap kata. 4. Memisahkan kata menjadi suku kata. 5. Memisahkan suku kata menjadi huruf, dan tiap hurufnya ditulis dengan warna yang berbeda. 6. Setelah mengenal huruf, peserta didik diajak menyusun suku kata menjadi suatu kalimat. BAB III Penutup A. Kesimpulan 1. Teori kognitif mulai berkembang dengan lahirnya teori belajar gestalt. Peletak dasar teori gestalt adalah Merx Wertheimer (1880-1943) yang meneliti tentang pengamatan dan problem solving. Sumbangannya diikuti oleh Kurt Koffka (1886-1941) yang menguraikan secara terperinci tentang hukum-hukum pengamatan, kemudian Wolfgang Kohler (1887-1959) yang meneliti tentang insight pada simpase 2. Dari Eksperimen-eksperimen kohler menjelaskan terhadap simpanse bahwa simpanse yang dipakai untuk percobaan harus dapat membentuk persepsi tentang situasi total dan saling menghubungkan antara semua hal yang relevan dengan Problem yang dihadapinya sebelum muncul insight. Dari percobaan tersebut menunjukkan simpanse dapat memecahkan insightnya, dan ia akan mentransfer insight tersebut untuk memecahkan problem lain yang dihadapinya 3. Kelompok pemikiran ini sependapat pada suatu hal yakni suatu prinsip dasar bahwa pengalaman manusia memiliki kekayaan medan yang memuat fenomena keseluruhan lebih dari pada bagian-bagiannya. Keseluruhan ini memberikan beberapa prinsip belajar yang penting, antara lain : 1. Manusia bereaksi dengan lingkunganya secara keseluruhan, tidak hanya secara intelektual, tetapi juga secara fisik, emosional,sosial dan sebagainya 2. Belajar adalah penyesuaian diri dengan lingkungan. 3. Manusia berkembang sebagai keseluruhan sejak dari kecil sampai dewasa, lengkap dengan segala aspek-aspeknya. 4. Belajar adalah perkembangan kearah diferensiasi yang lebih luas. 5. Belajar hanya berhasil, apabila tercapai kematangan untuk memperoleh insight. 6. Tidak mungkin ada belajar tanpa ada kemauan untuk belajar, motivasi membei dorongan yang mengerakan seluruh organisme. 7. Belajar akan berhasil kalau ada tujuan. 8. Belajar merupakan suatu proses bila seseorang itu aktif, bukan ibarat suatu bejana yang diisi. Referensi Soewondo Soetinah, Prof, Dr, Dasar-dasar Pendidikan, Semarang, Effhar Offset, 1993 Baharuddin, Dr, H, Nur Esa Wahyuni, M,Pd, Teori Belajar dan Pembelajaran, Jogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2008 Suwarno Wiji, Dasar-dasar ilmu pendidikan, Jogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2006 Pembelajaran Menurut Aliran Kognitif Oleh Afa Kholifia dari Jurusan Pendidikan Akutansi UM http://elearningpo.unp.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=133&Itemid=233

Tidak ada komentar:

Posting Komentar